Demokrasi: Retweet dari Neraka
📝 Pengantar Pendek
"Dalam 280 karakter, kita memilih masa depan. Tapi siapa yang menulis naskahnya?
Aku berdiri di panggung digital,
Mikrofonku adalah ponsel pintar,
Suara rakyat? Terselip di antara iklan dan algoritma,
Demokrasi? Sebuah trending topic yang cepat berlalu.
Mereka berkata, "Suaramu penting,"
Tapi hanya jika sesuai dengan narasi,
Jika tidak, siap-siap dibungkam,
Atau lebih buruk, diabaikan.
Kampanye dalam 280 karakter,
Janji-janji manis tanpa rasa,
Pemimpin dipilih berdasarkan jumlah like,
Bukan integritas atau kapasitas.
Debat publik menjadi ajang sarkasme,
Argumen digantikan dengan meme,
Kebenaran dikalahkan oleh viralitas,
Dan kebijaksanaan? Tertinggal di kolom komentar.
Parodi demokrasi ini terus berlanjut,
Dengan influencer sebagai juru bicara,
Dan rakyat? Penonton pasif yang terhibur,
Sambil perlahan kehilangan haknya.
Ironi terbesar adalah,
Kita merasa berdaya saat mengetik,
Padahal kita hanya menari,
Di atas panggung yang mereka ciptakan.
Paradoksnya jelas,
Kebebasan berbicara dibatasi oleh kebijakan komunitas,
Transparansi digantikan oleh filter,
Dan partisipasi? Hanya ilusi.
Sarkasme menjadi bahasa sehari-hari,
Karena kejujuran terlalu menyakitkan,
Kita tertawa dalam keputusasaan,
Menertawakan sistem yang menertawakan kita.
Demokrasi dalam 280 karakter,
Adalah lelucon yang kita mainkan bersama,
Dengan harapan suatu hari,
Kita bisa menulis ulang naskahnya.
🤔 Refleksi / Penutup
Puisi ini menggambarkan bagaimana demokrasi modern telah terdistorsi oleh media sosial dan budaya digital. Sindiran ini menyasar pada elit politik, platform media sosial, dan masyarakat yang terjebak dalam ilusi partisipasi. Pesan moralnya adalah perlunya kesadaran kritis terhadap bagaimana kita berpartisipasi dalam demokrasi dan pentingnya menjaga integritas proses demokratis di era digital
🧨 Demokrasi dalam 280 Karakter
— sebuah opera komedi dengan nada nyaring dan huruf kapital
✍️ Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
🪶 Pengantar
"Suara rakyat adalah suara Tuhan," katanya.
Tapi rupanya Tuhan kini butuh WiFi, akun centang biru, dan algoritma yang doyan panjat sosial.
🗳️ ISI PUISI
Bait I – Deklarasi Emoji
🌟 Demokrasi adalah pesta.
Tapi kami tak diundang, hanya disuruh bersih-bersih sisa nasi kotak.
🤳 Di timeline, pemimpin pakai filter kebaikan,
padahal aslinya pecinta polusi dan pemotong anggaran kesehatan.
Bait II – Rakyat Jadi Followers
Kami disuruh mencintai negeri—dalam format 280 karakter,
tapi tagar kami tenggelam di antara cuitan buzzer bersubsidi.
Kami menulis tentang harga cabai,
mereka membalas dengan meme dan janji palsu berformat JPEG.
Bait III – Wakil Kami di Dunia Maya
Wakil rakyat kami kini duduk di dua kursi:
satu di parlemen, satu lagi di kolom komentar.
Sibuk debat tentang warna dasi, bukan isi perut rakyat.
Yang paling lantang berteriak,
biasanya sedang endorse skincare kebijakan.
Bait IV – Pidato yang Dapat Di-retweet
Para calon pemimpin berlatih orasi seperti stand-up comedian,
melempar janji seperti punchline basi.
“Gratis pendidikan!” katanya,
tapi WiFi sekolah dipotong demi dana pelatihan TikTok.
Bait V – Mesin Waktu Demokrasi
Kami diantarkan ke TPS dengan harapan,
lalu ditinggalkan seperti mantan yang tiba-tiba ikut MLM.
Kotak suara jadi kapsul waktu:
isi doa, cemas, dan secarik surat suara yang fotonya sudah tersebar duluan di Instagram.
Bait VI – Karakter Terbatas, Dalih Tak Terbatas
Demokrasi sekarang harus ringkas,
karena pemilih muda tak suka membaca panjang.
Jadi kita bungkus janji dalam 7 kata,
dan bungkus tipu dalam 7 akun bot.
Bait VII – Satire Sambil Swafoto
Kami turun ke jalan,
tapi hasilnya lebih banyak jadi konten Reels ketimbang perubahan.
Tangan yang membawa poster kini lebih sibuk cari angle,
dan suara kami dimonetisasi demi engagement rate.
Bait VIII – Algoritma yang Memilih
Bukan suara terbanyak yang menang,
tapi suara yang paling sering di-like dan di-boost.
Pemilu kini tentang siapa yang paling viral,
bukan siapa yang paling bermoral.
Bait IX – Negara Seperti Thread Panjang
Kami hidup dalam thread panjang bernama kebijakan,
tapi admin-nya malas update.
Yang aktif hanya bot dan buzzer,
sementara akun rakyat dibatasi jangkauannya.
Bait X – Tuhan, Tolong Retweet Doaku
Kami berdoa agar harga sembako turun,
tapi trending topic tetap soal sinetron istri pejabat.
Kami berzikir sambil scroll,
mungkin Tuhan juga sedang sibuk balas DM dari influencer agama.
Bait XI – Parlemen sebagai Podcast
Sidang paripurna terasa seperti episode podcast:
Banyak bicara, minim solusi.
Sponsor-nya juga jelas:
Dari perusahaan tambang hingga pabrik hoaks.
Bait XII – Demokrasi Pakai Filter
“Pemerintah mendengar suara rakyat,” katanya,
tapi yang disaring hanya yang pakai kata-kata manis.
Kritik dikubur, sarkas dikriminalisasi,
sementara propaganda dipromosikan pakai iklan adsense.
Bait XIII – Elite Main Trending Topic
Di balik tagar nasionalisme,
ada invoice tagihan untuk kampanye digital.
“Bangga jadi Indonesia” jadi template,
sementara datanya bocor dan keadilan mengungsi ke negeri seberang.
Bait XIV – Narasi Jadi Narkotik
Kami diberi narasi demi menjaga “stabilitas,”
padahal yang stabil hanya indeks saham dan kemiskinan.
Kami dijejali istilah teknokrat,
sementara keran air masih kering dan listrik byar-pet.
Bait XV – Negara Jadi Notifikasi
Negara kini seperti notifikasi ponsel:
Sering muncul, jarang penting.
Janji-janji seperti popup:
Klik setuju untuk dijebak dalam S&K tak terlihat.
Bait XVI – Demokrasi: Versi Beta
Setiap pemilu adalah uji coba aplikasi baru:
Bug-nya masih banyak,
fitur utamanya tetap: sensor dan pembenaran.
Bait XVII – Rakyat sebagai Username
Kami semua punya akun dalam sistem,
tapi tak ada yang tahu password-nya siapa.
Kami disuruh login untuk ikut andil,
tapi akses penuh cuma dimiliki yang punya koneksi VPN kekuasaan.
Bait XVIII – Tanda Cinta dalam Komentar
Kami menulis, “Tolong perbaiki jalan,”
dibalas emoji hati dan #KamiPeduli.
Lalu bulan depan, jalan tetap berlubang,
tapi baliho kampanye makin tinggi.
Bait XIX – Demokrasi di Arsip Internet
Nanti, generasi masa depan akan menggali sejarah
dan menemukan bahwa “Revolusi Sosial”
hanya berarti trending satu malam lalu tenggelam karena drama selebriti.
💭 Refleksi Penutup
Puisi ini menampar wajah demokrasi digital yang makin hari makin mirip sirkus algoritma. Ia menyasar para elite politik yang bersembunyi di balik buzzer dan para rakyat yang mabuk konten namun lupa substansi. Ini bukan sekadar kritik terhadap pemerintah, tapi juga terhadap kita yang lebih percaya notifikasi ketimbang nurani. Demokrasi dalam 280 karakter bukan hanya tentang keterbatasan kata—tapi juga keterbatasan nalar dan keberanian. Saat suara rakyat dikompresi menjadi cuitan, maka kebisinganlah yang menang, bukan kebenaran.
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."