Satire Ironi di Balik Kursi Kekuasaan

Jeffrie Gerry
0

 


Pengantar Pendek

"Kekuasaan bukan tentang melayani, tapi siapa paling cepat menutup telinga."
Di atas kursi, semua tampak agung—sampai kita sadar, sandarannya dari janji yang dilipat dua: separuh mimpi, separuh tipu.


Satire Ironi di Balik Kursi Kekuasaan

Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


(Doa Pembuka Kursi Empuk)
Ya Tuhan,
yang tak pernah ikut pemilu,
tapi terus disalahkan atas hasilnya,
berilah para pemimpin kami
kursi yang lebih nyaman dari hati nurani,
agar mereka duduk lebih tenang…
saat lupa berdiri untuk kebenaran.

Berikan mereka mikrofon bersih,
agar suara rakyat tak lagi mengganggu tidur siangnya.
Lindungilah dompet mereka dari godaan integritas,
dan izinkanlah laci-laci birokrasi mereka
menjadi museum arsip janji-janji.

(Ayat-Ayat Penguasa di Panggung Rakyat)
Mereka berkata:
"Kami bekerja demi negeri."
Tapi negeri yang mana?
Yang ada di atas meja makan malam?
Atau yang tertinggal di balik rapat yang dibubarkan sebelum rakyat sempat bertanya?

Mereka bilang:
"Ini demi stabilitas."
Tapi yang stabil justru rekening keluarga.
Listrik bisa mati,
tapi listrik hati mereka selalu padam…
saat rakyat bicara terlalu nyaring.

(Mazmur Meja dan Kursi)
Kursi kekuasaan,
kaulah singgasana berkaki empat
dengan sabuk pengaman dari birokrasi.
Duduklah siapa pun yang cukup pandai berjanji,
dan cukup cepat melupakan.

Meja rapat menjadi altar,
tempat persembahan proposal dan amplop suci.
Agenda-agenda disusun dengan tinta transparan,
karena transparansi hanya indah saat tak terlihat.

(Injil Satire: Pasal Janji dan Sumpah)
Pada hari ke-1 kampanye, mereka bersumpah.
Pada hari ke-2 menjabat, mereka lupa.
Pada hari ke-3 disorot media, mereka ingat kembali.
Pada hari ke-4, mereka klarifikasi.
Pada hari ke-5, rakyat diminta bersabar.
Pada hari ke-6, rakyat diminta bersyukur.
Pada hari ke-7… mereka libur.

Sungguh,
tiada ayat suci yang berbunyi:
"Berbohonglah demi jabatanmu."
Tapi tafsir itu selalu dipakai
seperti dasi di leher seorang ahli strategi:
tak perlu jujur, asal tampak rapi.

(Surat Terbuka untuk Kursi Kedua, Ketiga, dan Seterusnya)
Wahai para kursi cadangan,
jangan iri pada kursi utama.
Sebab, yang duduk di atas bukan naik karena layak,
tapi karena pandai bersolek retorika.

Kelak giliran kalian akan tiba,
asal cukup pintar memotong pita,
dan hafal lagu "Indonesia Kerja Bakti"
tanpa tahu artinya.

(Parodi Nasional: Doa Rakyat Jelata)
Ya Tuhan,
kami tahu Engkau Maha Mendengar,
tapi bisakah Engkau juga jadi Maha Viral?
Sebab suara kami hanya terdengar
jika dilike dan dishare.

Kami mohon:
berikanlah sedikit sinyal ke desa kami,
agar pejabat tahu bahwa kami masih ada.
Atau, kirimkan notifikasi ke hati mereka
jika masih bisa di-update.

Jadikanlah nasi di piring kami
lebih penting dari nasi kotak saat kampanye.
Ajarkanlah kepada pemimpin kami
bahwa rakyat bukan hanya statistik
untuk presentasi PowerPoint di forum dunia.

(Mazmur 404: Keadilan Not Found)
Berbahagialah mereka
yang bisa membedakan antara pesta demokrasi
dan pesta ulang tahun istri pejabat.

Berbahagialah mereka
yang masih bisa tertawa
melihat baliho berisi janji
dari mulut yang sama
yang pernah berkata:
“Anggaran tidak cukup.”

Celakalah mereka yang tertidur di ruang sidang,
namun terjaga saat proposal proyek datang.
Dan celakalah kami semua
yang terus berharap
dari mereka yang hidupnya lebih dekat
dengan pelicin, bukan pelita.

(Paradoks: Kursi Kekuasaan dan Kursi Roda)
Lucunya,
kursi kekuasaan tak pernah berhenti bergerak,
meski penghuninya duduk diam.
Sedangkan kursi roda,
bergerak karena penggunanya ingin maju,
bukan bertahan di tempat yang nyaman.

Ironis, bukan?
Yang lumpuh bukan kakinya,
tapi empatinya.

(Interlude Sarkastik: Stand Up Demokrasi)
“Halo, saya rakyat.
Bukan, bukan yang dibayar untuk demo.
Saya yang bayar listrik, pajak, dan janji-janji.”

Apa beda antara sandiwara dan sidang?
Yang satu hiburan,
yang satu… juga hiburan—bedanya hanya pada tiket masuk dan bahasa hukumnya.

Kenapa kursi kekuasaan tak punya roda?
Agar tak mudah didorong oleh rakyat.
Tapi sayangnya, mudah digeser oleh kepentingan.

(Doa Penutup: Untuk Mereka dan Diri Kita Sendiri)
Ya Tuhan,
ampunilah kami
yang terlalu cepat percaya
dan terlalu lama menyesal.

Ampunilah mereka
yang terlalu banyak bicara
dan terlalu sedikit bekerja.

Ajarkan kepada kami semua
bahwa kekuasaan bukan ladang panen,
tapi ladang pengabdian.
Bahwa sumpah jabatan bukan puisi pendek
untuk dibacakan sambil senyum.

Dan kirimkanlah kursi
yang bisa mengingatkan punggung
tentang beban rakyat,
bukan sekadar menopang kemalasan berlapis dasi.


Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra)

Puisi ini bukan untuk menjatuhkan siapa pun,
melainkan cermin jenaka untuk kita semua,
agar tak hanya menunjuk yang duduk di kursi,
tapi juga bertanya:
“Apakah aku pun pernah duduk…
dan lupa berdiri untuk kebenaran?”


Puisi ini dipersembahkan untuk:
Para pemimpin di segala tingkat,
dari RT hingga yang merasa Tuhan delegasikan tugas-Nya padanya.
Juga untuk rakyat, agar tak hanya menonton…
tapi mulai mengingat bahwa demokrasi
bukan hanya suara lima menit,
tapi sikap seumur hidup.



Post a Comment

0Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment (0)