Pengantar Pendek:
"Di negeri penuh gengsi, cicilan lebih sakral dari doa subuh. Mewah di luar, megap-megap di dalam."
Ironi Hidup Gaya Mewah, Utang Lunas Nanti
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
(Monolog dalam Doa Satirik Seorang Hamba Mapan Sementara)
Ya Tuhan,
terimalah doaku malam ini,
dari atas kasur hotel bintang lima,
yang kubayar pakai paylater bunga dua kali lipat.
Maaf, aku tidak sempat sujud,
karena sajadahku tertindih tas bermerek yang sedang "diskon dosa".
Hari ini aku bahagia, Tuhan,
baru saja membeli ponsel baru,
yang katanya bisa mendeteksi ketulusan,
tapi sayang… tidak bisa deteksi saldo e-wallet.
Tuhan…
Engkau Maha Kaya, sedangkan aku
berusaha terlihat kaya.
Aku tahu aku bukan Nabi Ayub,
tapi bisakah cobaan berupa tagihan kartu kredit ini dijadikan ujian iman?
Aku tak marah pada hidup, Tuhan,
aku hanya bingung:
mengapa temanku yang jujur dan sederhana
dihina karena tidak ikut arisan flexing?
Dan yang tukang utang,
dipuji karena "relasi tinggi".
Aku hidup dalam zaman paradoks,
dimana orang merasa miskin di depan kamera,
tapi penuh gaya di InstaStory.
Dimana "ikhlas" ditulis di caption,
tapi disusul cicilan tanpa penyesalan.
Ya Tuhan,
aku bersyukur diberi gaji—meski
separuh langsung dipinjam orang yang sok kenal.
Separuh lagi?
Untuk membayar kehidupan yang bukan milikku.
Aku heran,
kenapa mobil harus diganti tiap dua tahun
padahal hutangnya belum tuntas.
Kenapa pesta ulang tahun anak tetangga
lebih mewah dari akad nikahku?
Apakah itu tren?
Atau ritual baru kaum urban?
Tuhan,
jika bisa, mohon ajari aku
cara membedakan antara kebutuhan dan gengsi.
Aku terlalu sering puasa—bukan karena iman,
tapi karena tagihan.
Sering menangis bukan karena dosa,
tapi karena bunga pinjaman yang tumbuh seperti benalu di dompet.
Ampuni aku,
karena menukar ketenangan dengan “cicilan tetap”.
Karena demi tampil memukau,
aku menggadaikan masa depan yang belum datang.
Aku ingin berkata jujur pada dunia:
"Aku lelah!"
Tapi nanti disangka kurang bersyukur.
Lebih baik kutulis status,
"Alhamdulillah… hidup penuh warna",
dengan latar filter Bali—padahal itu taman belakang tetangga.
Ya Tuhan…
aku ingin berhenti dari kontes sosial tak tertulis ini,
dimana nilai manusia dinilai dari sepatu dan merek tas,
bukan dari akhlak dan empati.
Tapi…
kalau aku tampil sederhana,
nanti orang bilang: “Wah, pasti lagi bangkrut…”
Astaga Tuhan,
di mana letak syukur yang sesungguhnya?
Apakah di jumlah followers?
Atau di angka cicilan yang bisa ditunda-tunda?
Aku malu, Tuhan…
pada Ibu penjual nasi di pinggir jalan,
yang tak punya dompet digital,
tapi punya tabungan rasa syukur.
Malu pada tukang parkir,
yang tak pernah ikut seminar motivasi,
tapi tahu cara bersyukur meski hujan turun deras.
Aku?
Datang ke seminar bertema “Hidup Sukses di Usia Muda”,
tapi pulang dengan utang baru dan mimpi semu.
Tuhan,
jika esok aku bangkrut,
tolong jangan bangkrutkan juga harga diriku.
Biarlah aku belajar dari ujung mie instan,
bahwa hidup sederhana bisa tetap menggoda.
Izinkan aku bertobat,
bukan hanya dari dosa,
tapi dari kebiasaan pamer kemiskinan terselubung mewah.
Tuhan,
jika mewah itu hak,
berilah pada mereka yang butuh martabat,
bukan pada kami yang hanya butuh validasi.
Dan utang, Tuhan…
aku janji akan lunasi.
Kalau tidak di dunia,
ya mungkin di akhirat—(eh tapi jangan serius, Tuhan, itu tadi bagian sarkasme).
Aku cuma ingin hidup damai,
tanpa harus mengejar standar orang-orang yang juga hidup dari kredit.
Tanpa harus selalu berpura-pura kuat,
padahal dompetku menjerit dalam diam.
Tuhan…
izinkan aku kembali pada akal sehat,
karena ternyata yang waras di negeri ini
lebih langka daripada promo cicilan 0%.
Aku ingin menabung lagi,
bukan untuk membeli barang yang bisa rusak,
tapi untuk memperbaiki harga diri yang sudah lama bocor.
Dan jika boleh, Tuhan…
tolong bisikkan pada manusia lain:
bahwa hidup sederhana bukan berarti gagal,
dan utang bukan bagian dari tren hidup berkelas.
Aku ingin berdoa,
tanpa dibuntuti notifikasi dari pinjol.
Aku ingin tertawa,
bukan karena konten receh,
tapi karena bisa hidup tanpa takut telepon penagih.
Tuhan…
aku percaya Engkau tahu isi hatiku,
meski diselimuti cicilan.
Maka biarlah doaku ini jadi tumpahan satir,
yang lahir dari luka konsumtif dan ego estetik.
Refleksi Penutup:
Ya, puisi ini bukan untuk menampar siapa-siapa.
Hanya untuk menyentil, dengan cermin di tangan.
Bahwa gaya hidup mewah tanpa dasar—adalah gaya hidup yang menjual masa depan.
Bahwa utang bukan musuh,
tapi bisa jadi jebakan kalau dipakai mengejar pujian.
Bahwa hidup tenang lebih mahal dari sekadar terlihat menang.
Puisi ini ditujukan kepada:
Kita semua yang pernah tergoda tampil wah meski isi dompet minta istighfar.
Para sahabat digital, para pekerja keras yang terjebak gaya hidup prestise palsu.
Untuk para pengambil keputusan, influencer gaya hidup,
dan juga kepada diri sendiri—yang kadang lebih takut dibilang tidak update
daripada dibilang terlilit utang.
Sepatah Kata dari Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra):
"Puisi ini saya tulis bukan untuk menjatuhkan siapa pun, tapi sebagai doa satir yang bisa jadi cermin kecil untuk melihat betapa kadang kita lebih takut miskin secara tampilan daripada secara akal dan hati. Kalau ada yang tertawa, itu bagus. Kalau ada yang sadar, itu lebih bagus. Tapi kalau ada yang tersinggung… ya, mungkin sudah waktunya meninjau tagihan."
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."