Parodi Ekonomi Digital: Kaya Klik, Miskin Kenyataan
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Pengantar Pendek:
"Dulu orang kaya punya tanah, kini cukup punya followers. Tapi tetap saja, tak bisa dimakan ketika lapar."
Monolog Satir: Doa Si Tukang Scroll
(dibacakan dalam keheningan malam, sambil menatap layar yang menyala sendu)
Ya Tuhan,
Tuhanku yang Maha Trending,
Maha Viral, Maha Like, dan Maha Sponsored Post...
Hamba datang malam ini bukan dengan sajadah,
tapi dengan sinyal WiFi yang stabil dan hati yang buffering.
Berilah kami hari ini notifikasi yang banyak,
seperti rezeki yang dijanjikan di kolom komentar,
seperti giveaway yang syaratnya hanya follow, tag tiga teman, dan percaya nasib.
Ampuni dosa-dosa kami,
karena kami telah menggantikan doa dengan “swipe up”,
mengganti tafakur dengan “unboxing”,
dan menukar keheningan spiritual dengan suara notification.
Aku ini manusia digital, Tuhan,
lahir dari algoritma, besar oleh konten,
dan kini disusui oleh iklan bertarget.
Aku berdoa dengan jempolku,
sebab mulutku sibuk menyebutkan kode promo.
Tuhan...
Ajari kami untuk tidak iri
pada tetangga yang bisa beli iPhone tiap launching,
padahal di dunia nyata, dia masih numpang warung makan.
Ajari kami cara membedakan
antara kemewahan editan dengan penderitaan cicilan,
antara senyum penuh filter dengan dompet bolong tak terdeteksi.
Kami ini kaum pencari diskon,
pemujamu yang paling taat—taat pada flash sale jam 12,
dan rajin sedekah—sedekah kuota tiap tanggal tua.
Dunia ini, Tuhan,
sudah menjadi taman bermain bagi para influencer,
di mana status lebih penting dari isi,
dan caption motivational menutupi realita bahwa
dalam hidupnya, sang motivator masih numpang tempat tidur.
Kami menyaksikan mukjizat setiap hari:
orang bisa kaya hanya dengan joget 15 detik,
sementara yang kerja 15 jam sehari masih bingung bayar sewa.
Oh paradoks surgawi!
Orang yang banyak follower bisa menentukan arah ekonomi,
sementara petani yang memberi makan negeri,
dianggap hanya statistik dalam berita pagi.
Aku berdoa, Tuhan,
bukan untuk jadi viral,
tapi tolong… jangan buat aku terlalu waras,
karena waras di dunia digital itu menyakitkan.
Lebih mudah jadi lucu, sarkastik, dan sedikit bebal,
daripada jujur dan lapar.
Kami disuruh adaptif,
masuk ekonomi digital, katanya.
Tapi bagaimana, Tuhan,
kalau laptop saja kami sewa mingguan,
dan skill coding hanya sebatas tahu password WiFi?
Tuhanku yang baik,
kau tahu betapa banyak teman kami
yang dijebak seminar digital,
dibaptis jadi “entrepreneur”,
tapi yang dijual hanya harapan,
dan yang untung hanya yang di atas panggung.
Kami ikut kelas “Menjadi Kaya dari Internet”,
tapi keluar hanya dengan presentasi dan hutang.
Oh, kapitalisme suci yang memakai hoodie dan jargon motivasi!
Berilah kami kesabaran, Tuhan,
untuk tetap terlihat sukses di Instagram,
meski di dunia nyata kami masih utang listrik.
Ajarkan kami seni menyembunyikan kesedihan
dalam bentuk story boomerang,
dan mengolah air mata menjadi konten inspiratif.
Tuhan, satu permintaan terakhir,
berilah kami kekuatan
untuk tetap menertawakan ironi ini,
agar kami tak gila terlalu cepat.
Karena hanya dengan tawa,
kami bisa berdamai dengan absurdnya nasib.
P.S.
Tuhan, jika boleh, tolong sampaikan ke malaikat-Mu:
jika nanti aku wafat,
jangan lupa update statusku,
dan kirimkan bunga digital dengan ucapan
"Turut berduka cita, semoga tenang di dunia tanpa sinyal."
Pesan Akhir: Renungan dalam Tawa
Puisi ini bukan untuk menyalahkan siapa pun.
Bukan untuk menuding jari atau menertawakan korban digitalisasi.
Tapi untuk membuka mata, bahwa di balik glamor dunia maya,
ada realitas yang sering kita tutupi dengan filter.
Kepada para pencari rezeki online,
para pekerja kreatif yang kadang harus menukar prinsip demi klik,
dan kepada siapa pun yang merasa miskin kenyataan meski tampak kaya di layar,
puisi ini adalah cermin.
Dan jika cermin itu retak,
biarlah retaknya membentuk pertanyaan:
Benarkah kita sedang maju, atau hanya geser layar ke ilusi berikutnya?
Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):
"Menulis puisi satir digital ini seperti mengaduk kopi tanpa gula: pahit, tapi jujur. Semoga dari setiap barisnya, kita belajar tertawa tanpa melupakan realita."
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."