<div class="toc-pro"></div>
Pengantar Pendek
"Ketika doa tak lagi naik ke langit, tapi mampir dulu ke markas partai, lengkap dengan berkas dukungan dan cap jempol saksi."
Doa untuk Parpol yang Penuh Parodi
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
(Mukadimah: Amin dalam Nada Ironi)
Ya Tuhan,
pemilik langit dan suara terbanyak,
hari ini kami hendak berdoa
bukan untuk keselamatan dunia,
melainkan untuk rating partai politik kami—
yang sedang turun di polling akhirat.
Berikanlah kepada kami,
partai penuh visi dan slogan semu,
keberkahan dalam bentuk like,
kemuliaan dalam bentuk endorse,
dan keabadian dalam bentuk baliho abadi
di tiang listrik dan hati yang sudah mati.
(Bagian 1: Litani Janji Tanpa Dosa)
Ya Tuhan,
mereka berjanji bukan main,
akan bangun jalan,
walau belum mampu melewati lorong nurani.
Mereka bersumpah atas nama rakyat,
padahal rekening mereka hanya kenal nama pribadi.
Mereka pidato tentang keadilan,
dengan mic sumbangan perusahaan tambang,
dan menutup pidato dengan kalimat,
“Semoga Tuhan memberkati investor kami.”
(Bagian 2: Doa Syahdu untuk Rapat Pleno dan Rakyat yang Nanggung)
Tuhan yang Maha Paham Anggaran,
berkatilah rapat pleno yang sakral,
yang berlangsung di hotel bintang lima,
dengan paket makan malam tak terbatas.
Saksikanlah betapa kami berunding demi rakyat
yang menonton dari layar kaca rusak,
dengan listrik prabayar dan kuota gratis hasil CSR.
Ya Tuhan,
jika suara rakyat adalah suara-Mu,
maka izinkan kami sedikit mengedit suara itu,
demi stabilitas koalisi dan kelangsungan dinasti.
(Bagian 3: Zikir dalam Konsolidasi dan Parodi Partai)
Astaghfirullah untuk rapat internal,
yang lebih panas dari neraka komentar netizen.
Subhanallah untuk proposal bantuan partai,
yang lebih tebal dari kitab suci.
Allahuakbar untuk perayaan ulang tahun partai,
yang menyaingi pesta kerajaan.
Walau rakyat berpuasa,
kami tetap makan bersama,
karena perjuangan butuh stamina… dan standing party.
(Bagian 4: Dialog dengan Tuhan, Versi Political Comedy)
Kami:
“Tuhan, kami ingin mencalonkan diri sebagai penyelamat bangsa.”
Tuhan:
“Sudah kau selamatkan keluargamu dari utang?”
Kami:
“Tapi kami sudah siap jadi wakil-Mu di bumi.”
Tuhan:
“Wakil-Ku? Atau wakil sponsor kampanye?”
Kami:
“Tuhan, jangan ragukan integritas kami!”
Tuhan:
“Bukan Aku yang ragu. Rakyatmu yang trauma.”
(Bagian 5: Sesi Istighfar Nasional Bersama Elite Politik)
Tuhan,
ampuni kami yang memakai nama-Mu
untuk melegitimasi pelecehan nurani.
Ampuni kami yang memasang wajah tersenyum
di spanduk bantuan bencana.
Kami terlalu sibuk menghitung jumlah kursi,
hingga lupa jumlah penderita.
Kami terlalu sibuk bagi-bagi jabatan,
hingga lupa membagi keadilan.
(Bagian 6: Renungan dari Kaki Lima Kehidupan)
Di warung kopi ujung gang,
rakyat mendiskusikan nasib partai,
dengan suara yang lebih jujur dari debat resmi.
Mereka tahu,
janji kampanye itu seperti nasi goreng—
panas di awal, dingin sebelum kenyang.
Tapi rakyat pun telah belajar,
belajar tertawa saat dicurangi,
belajar sabar saat dibohongi,
dan kini… mulai belajar memaafkan
dengan cara tak memilih lagi.
(Bagian 7: Doa untuk Masa Depan yang Tak Dijual di Etalase Politik)
Ya Tuhan,
jika mungkin,
tumbuhkan sebiji akal sehat
di hati setiap kader yang sedang belajar jadi manusia.
Ajari mereka bahwa demokrasi
bukan hanya tentang suara terbanyak,
tapi tentang keadilan bagi yang bersuara lirih.
Ajari mereka bahwa pemilu
bukan ladang amal dunia maya,
tapi ladang tanggung jawab
yang akan dipanen oleh cucu-cucu kami—
yang hari ini belum sempat selfie dengan caleg.
(Bagian 8: Epilog dari Balik Panggung Kampanye)
Kami berterima kasih, Tuhan,
karena dalam kebisingan parodi ini,
masih ada sedikit ruang untuk doa yang tulus.
Doa yang tak minta kuasa,
tak tawar-menawar janji,
tak pasang baliho di surga-Mu.
Doa yang hanya ingin melihat
satu partai kecil menang:
Partai Nurani
dengan koalisi akal sehat
dan kabinet kerja nyata.
(Kepada Siapa Puisi Ini Disampaikan?)
Puisi ini kutujukan kepada:
semua partai politik yang masih punya mimpi,
semua politisi yang masih bisa menangis saat sepi,
semua pemilih yang belum lelah berharap,
dan semua anak muda yang sedang belajar:
bahwa perubahan tak selalu dimulai dari atas podium,
tapi dari percakapan jujur di bawah bendera waras.
Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):
"Puisi ini bukan untuk menjatuhkan partai, tapi untuk mengangkat kesadaran: bahwa politik seharusnya adalah seni melayani, bukan seni menjanjikan yang tak diniatkan untuk ditepati. Jika doa bisa disalahgunakan, maka puisi pun berhak untuk mengingatkan."
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."