Ketika Ideologi Menjadi Komoditas

Jeffrie Gerry
0

 


Pengantar Pendek

"Tuhan... di zaman ini, bahkan iman punya harga grosir. Dan ideologi? Diskon besar-besaran di marketplace nurani."

Ketika Ideologi Menjadi Komoditas
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


(Doa Pembuka yang Nyeleneh)
Ya Tuhan,
yang Maha Komprehensif dalam aturan dan diskon,
kami berdoa bukan untuk petunjuk kebenaran,
tapi katalog promo prinsip hidup edisi terbaru.

Berkatilah kami dengan voucher nilai-nilai,
yang bisa kami tukar saat sedang trending,
dan jangan lupa cashback ideologi
karena kami sudah upload testimoni di Instagram-Mu.





(Bagian 1: Pidato Para Pedagang Keyakinan)
Kami adalah pebisnis iman yang waras,
jualan prinsip—asal laku keras.
Di pagi kami jual merah,
di malam kami promokan putih,
asal cuan tetap cair seperti janji yang tak pernah kering.

Ideologi?
Oh itu hanya slogan,
yang kami bungkus dalam bubble wrap retorika.
Kalau pecah?
Ya tinggal kirim ulang,
pakai ongkir subsidi negara.

Kami buka lapak
di tikungan nalar dan pertigaan akal sehat,
pakai toa moralitas,
dengan promo “Beli Satu Kebenaran, Gratis Tiga Fatwa Tambahan!”


(Bagian 2: Sarana Edukasi Abad Ke-21)
Anak-anak sekolah tak lagi diajar membaca makna,
mereka diajari membaca QR Code ideologi instan.
Satu-satunya buku wajib adalah:
“Cara Menyulap Kepentingan Jadi Perjuangan”.

Di perpustakaan digital,
kami temukan kebenaran dalam bentuk PDF berbayar,
lisensi terbatas:
“Hanya berlaku selama masa jabatan berlangsung.”


(Bagian 3: Pasar Malam Keyakinan Nasional)
Di alun-alun demokrasi,
ada pasar malam bernama Pemilu Raya,
di mana ideologi digoreng dengan minyak opini,
dan disajikan bersama sambal opini publik.

Partai-partai berdansa di panggung gimmick,
saling lempar janji seperti permen di pesta ulang tahun rakyat.
Yang paling manis,
paling banyak pemilihnya—
walau isinya cuma udara dan pewarna buatan.

Slogan suci dijadikan baliho,
dipasang di samping iklan diskon deterjen.
Agar saat rakyat mencuci hati,
ada pilihan mau pakai sabun nilai atau pewangi absurditas.


(Bagian 4: Parodi Rumah Ibadah dan Kantor Partai)
Rumah ibadah dan kantor partai
sudah mirip: sama-sama jual janji surga.
Bedanya cuma seragam dan jenis stiker yang ditempel di pintu.
Dan kadang,
pengurusnya bisa pindah tempat—asal posisi naik.

Oh Tuhan,
lihatlah umat-Mu,
yang lebih hafal nama caleg
daripada nama nabi.
Lebih semangat menghadiri deklarasi
daripada doa tengah malam.


(Bagian 5: Di Tengah Kesalehan yang Dijual Paket Hemat)
Kini doa tak harus khusyuk,
asal viral dan pakai filter cahaya surgawi.
Khotbah tak harus jujur,
asal rima-nya cocok dengan trend #SpiritualitasGaul.

Kami punya ustaz endorse dan pastor influencer,
yang doanya bisa dijadwalkan sesuai jam prime time,
disisipi iklan kopi dan sabun pencuci dosa.


(Bagian 6: Ironi Kolektif Kami)
Kami berkata “Tegakkan Keadilan!”
sambil mencongkel jendela kejujuran.
Kami berdemo demi kebebasan,
lalu menculik yang berbeda pendapat.

Kami bicara "Kesatuan Bangsa!"
lalu membagi-bagi kursi seperti kupon arisan.
Kami menolak kapitalisme global,
tapi rekening kami dolar semua.

Kami bangga pada budaya luhur,
tapi minta restu ke algoritma.
Kami hormat bendera,
tapi melipat nurani agar muat di dashboard kampanye.


(Bagian 7: Dialog Satir dengan Tuhan)
Tuhan:
“Kalian bilang berjuang untuk Aku,
tapi kok iklannya lebih banyak wajah kalian?”

Kami:
“Itu bagian dari strategi branding, Tuhan.”

Tuhan:
“Kalau begitu, siapa sebenarnya yang kalian sembah?”

Kami:
“Ehem... yang penting suara naik, ya Tuhan.”


(Bagian 8: Refleksi di Tepi Warung Kopi Nurani)
Kami tak tahu lagi,
mana prinsip, mana iklan.
Mana pendirian, mana endorse-an.
Mana ideologi, mana ide all you can eat.

Semua ditakar dengan harga pasar.
Kalau mahal, dijual diam-diam.
Kalau murah, dilelang rame-rame.
Yang penting laku. Yang penting eksis.


(Doa Penutup: Parodi yang Tulus)
Ya Tuhan,
ajari kami cara mencuci nurani dengan sabun kejujuran.
Bimbing kami menanam nilai,
bukan mencetak label.

Berikan kami stok idealisme segar,
bukan kaleng kadaluarsa yang tinggal dibumbui hasutan.
Dan jangan izinkan kami menukar surga,
dengan saldo kampanye dan poin loyalitas partai.


(Kepada Siapa Puisi Ini Disampaikan?)
Puisi ini kutujukan:
untuk setiap anak bangsa yang pernah menjual nuraninya dengan harga flash sale.
untuk pemilik kursi kekuasaan dan pencari makna hidup,
untuk pemuda yang masih menulis puisi di tengah sorak-sorai kebohongan,
dan untuk engkau—yang hari ini masih punya keberanian bertanya:
“Apakah aku masih punya prinsip, atau hanya algoritma yang mendikte iman?”


Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):
"Puisi ini bukan untuk mencela, tapi untuk mencela kita yang lupa bercermin. Kadang, satu lelucon yang pahit bisa lebih jujur daripada sejuta pidato serius. Jika setelah membaca ini kau tertawa—bagus. Tapi jika kau merasa tertampar—lebih bagus lagi."




Post a Comment

0Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment (0)