Keadilan dalam Puisi yang Tak Didengar

Jeffrie Gerry
0

 


Keadilan dalam Puisi yang Tak Didengar

Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)

Pengantar Pendek:
"Ketika kata tak lagi punya kursi di ruang dengar, kadang puisi hanya jadi tamu di ruang kosong keadilan."


KEADILAN DALAM PUISI YANG TAK DIDENGAR
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)

Tuhan yang Maha Adil,
maafkan kami yang terlalu sering menyembah "si kuat",
sebab mereka lebih cepat memberi amplop
daripada Engkau yang mencicil rezeki lewat proses.

Kami tahu Surga tak menerima suap,
tapi bukankah tiket bioskop keadilan
selalu dijual mahal,
dan calonya berdasi, berdasi, berdasi?

Maka kami berdoa,
dengan tata bahasa yang disusun notulen,
dengan gaya formal ala konferensi pers,
agar Engkau sudi menyimak doa rakyat kecil
yang selalu jadi keterangan saksi,
tapi tak pernah diberi mikrofon.

**

Keadilan,
katanya, buta.
Tapi kenapa ia bisa membaca dokumen dari para pengacara elite
dan buta total saat melihat bukti dari ibu penjual sayur?

Apakah itu buta selektif?
Atau dia hanya silau oleh lampu flash kamera wartawan?
Ah, maaf, ini hanya satire—bukan fitnah.
Bukan hujatan, hanya humor getir dari rakyat yang kehausan hak.

**

Di ruang sidang,
puisi kami dibacakan dengan nada rendah,
lalu dilipat, dijadikan pembatas buku
oleh hakim yang sedang menulis status:
"Hari ini adil banget, bro. Sidang selesai cepat. Makan siang di hotel bintang empat."

Kami pun menari di antara ironi,
seperti badut hukum
yang tak diundang tapi selalu ditonton.
Ada keadilan yang bisa dibeli per jam,
dan kami yang gajinya harian
harus antre nasib di ruang tunggu pengaduan.

**

Ya Tuhan,
berikanlah keadilan seperti hujan—
yang turun tanpa memilih tanah siapa,
bukan seperti proyek bansos
yang hanya turun ke tanah yang bisa "menanam bendera."

Kami percaya padaMu,
tapi kami juga belajar statistik.
Dan menurut data,
yang jujur makin langka dari burung cendrawasih,
dan yang korup lebih cepat berkembang biak
daripada kutu di karpet kantor kementerian.

**

Lihatlah para tokoh itu,
berpidato tentang moral di jam kerja,
dan memesan "tontonan malam" dari aplikasi
di luar jam etik dan akal sehat.

Apakah ini yang dinamakan paradoks agung?
Di mana perampok memakai jubah pahlawan,
dan korban disuruh minta maaf karena dianggap mengganggu reputasi.

**

Kami ini rakyat, bukan mesin cetak sabar.
Kami ini pemilik negeri, bukan pelanggan drama politik.
Tapi mengapa suara kami harus dibungkam
oleh algoritma yang diset untuk menyukai ketololan?

Kami menulis puisi,
bukan untuk dipuji,
tapi karena kami sudah muak disuruh mengerti
oleh mereka yang tak pernah mau mengerti balik.

**

"Jangan nyinyir, nanti rezekimu seret,"
kata motivator yang dibayar oleh pemilik pelanggaran.
"Berdoalah, nanti keadilan datang sendiri,"
kata tokoh agama yang jadi bintang iklan detergen.

Tapi kami juga manusia.
Berdoa sambil bekerja,
sambil digertak,
sambil dicicil hidupnya oleh sistem yang katanya demokratis,
tapi tak pernah tuntas membuka mata untuk melihat penderitaan
tanpa barcode kekuasaan.

**

Lalu datanglah kami,
dengan puisi yang ditertawakan karena tak viral.
Dengan satire yang dianggap keluhan.
Dengan doa yang diminta diketik ulang dalam format surat permohonan resmi.

Kami menulis bukan untuk mengubah dunia,
karena dunia ini terlalu keras kepala untuk disentuh bait.
Kami hanya ingin membisikkan sesuatu
kepada siapa pun yang masih punya ruang dengar di dadanya:

Bahwa keadilan bukan konsep.
Ia seharusnya adalah nasi di piring orang miskin.
Ia seharusnya bukan konten kampanye,
melainkan nyawa dari janji yang tak dikhianati.

**

Maka kami parodikan keadilan seperti drama telenovela:
Episode pertama: "Kasus ditutup karena kurang bukti."
Episode kedua: "Bukti ditemukan tapi disalahpahami."
Episode akhir: "Tersangka kabur ke luar negeri, tapi tetap rajin upload story."

Kami menertawakan agar tidak gila.
Kami memparodikan agar tidak putus asa.
Kami sarkastis bukan karena benci,
tapi karena cinta yang ditolak logika.

**

Tuhan yang Maha Mendengar,
jika Engkau membaca puisi ini
dari ponsel-Mu yang sinyalnya tak pernah putus,
maka izinkan kami mengirim suara lewat bait:

Beri kami keadilan,
bukan sebagai hadiah,
tapi sebagai hak.
Dan berilah pula kesadaran pada mereka
yang mengira keadilan itu privilese,
bukan prinsip.

**

Sebab kami lelah berdiri dalam antrean,
yang tiap nomor antriannya ditentukan oleh relasi,
dan posisi sosial menjadi barcode kebenaran.

Kami tahu hukum itu suci,
tapi kadang yang membaca kitabnya punya niat kotor.
Kami tahu negara ini besar,
tapi kadang yang memimpin sibuk merawat egonya yang lebih besar.

**

Tapi tak apa,
kami akan terus menulis puisi.
Meskipun tak didengar,
meskipun cuma dibaca separuh,
meskipun dijadikan meme oleh kaum sumbu pendek.

Sebab puisi kami bukan peluru,
tapi lentera di lorong sunyi.
Sebab satire kami bukan serangan,
tapi tamparan halus untuk yang masih punya malu.

Dan kepada para pembaca budiman,
yang sempat membaca sampai akhir,
puisi ini kami persembahkan:

Untukmu yang masih percaya,
bahwa keadilan bukan fiksi,
dan bahwa suara kecil pun
bisa menggema—kalau kau izinkan telingamu terbuka.


Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):
"Puisi ini adalah doa yang patah, harapan yang getir, dan cinta yang tak menyerah. Bukan untuk menyalahkan siapa pun, tapi untuk mengingatkan bahwa kadang, diam itu dosa kalau keadilan sudah terlalu sering dibisukan."




Post a Comment

0Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment (0)