Satire Pemilu: Serius tapi Lucu

Jeffrie Gerry
0



Pengantar Pendek:
"Katanya pemilu pesta demokrasi, tapi kenapa yang kenyang cuma katering dan buzzer, sementara rakyat tetap diet harapan?"


Puisi Satir: Satire Pemilu: Serius tapi Lucu

Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Ya Tuhan yang Maha Demokratis,
ampuni kami rakyat yang suka terlalu cepat percaya,
dan para caleg yang terlalu cepat lupa.
Kami memang makhluk yang aneh:
dipukul berkali-kali oleh janji
tapi tetap datang ke TPS dengan senyum dan KTP.

Ini tentang Pemilu, Tuhan,
pesta yang katanya milik rakyat,
tapi tiket masuknya mahal
dan panggungnya dipesan jauh hari
oleh sponsor yang tak pernah muncul di baliho.

Lihatlah baliho-baliho raksasa itu,
lebih tinggi dari tiang listrik,
lebih cerah dari masa depan kami.
Ada senyum penuh program kerja,
tapi kadang matanya memancarkan sinyal wifi
berisi PDF pinjaman dari konsultan citra.

Tuhan,
kami bingung harus memilih siapa,
karena yang satu janjinya 100 hari kerja,
yang satu lagi janji makan siang gratis,
sementara kami cuma ingin listrik stabil
dan harga cabai tak lagi setara logam mulia.

Berilah kami petunjuk, ya Rabbul TPS,
karena surat suara kini mirip katalog
dengan wajah-wajah meyakinkan,
yang entah kapan terakhir kali
mengantre di puskesmas tanpa pengawalan.

Kami ditanya “siapa pilihanmu?”
seakan-akan pilihan kami benar-benar
berkuasa atas nasib kami.
Padahal di balik layar,
koalisi dan kontrak-kontrak tak kasat mata
sudah lebih dulu memilihkan untuk kami.

Ya Tuhan,
kami bukan sinis, hanya realistis.
Kami sudah pernah memilih
mereka yang katanya anti-korupsi
tapi kemudian disalip oleh kasus
dengan gaya salam dua jari yang berubah
jadi salam dua borgol.

Tuhan, Tuhan yang Maha Mengerti,
di TV mereka debat dengan penuh visi,
di belakang, mereka debat soal fee.
Di podium, mereka menyebut rakyat sebagai prioritas,
tapi di ruang tertutup, yang disebut hanya
"berapa kursi buat kita?"

Dan kami,
tetap datang pagi-pagi ke TPS,
karena katanya itu wujud cinta negeri.
Padahal yang lebih dicintai
adalah amplop putih di balik senyum petugas tak resmi.

Tuhan, beri kami kekuatan,
untuk tidak tertawa saat melihat janji yang sama
diputar ulang lima tahun sekali,
dengan background musik nasionalisme
dan drone shot rakyat bersalaman di sawah.

Kami rakyat yang tak butuh banyak,
cukup jangan dijadikan angka statistik
yang dijual dalam pidato,
sementara perut kami
masih menunggu keadilan turun dari langit
karena tak pernah turun dari kursi legislatif.

Tuhan,
kenapa pemilu selalu penuh drama,
padahal katanya ini mekanisme dewasa
bagi bangsa yang besar?
Tapi kenapa yang paling aktif justru
admin akun palsu dan penyebar hoaks?

Kami ingin pemilu yang waras,
bukan yang bikin kami harus ikut seminar
untuk membedakan fakta dan fatamorgana.
Kami ingin pemimpin,
bukan konten kreator dengan jas formal dan naskah hafalan.

Kami ini rakyat, Tuhan,
yang bisa disuap dengan kaos,
tapi juga bisa kecewa dengan sangat tulus.
Kami yang disebut ‘tulang punggung bangsa’,
tapi tak pernah diberi vitamin atau libur nasional ekstra.

Pemilu, ya Tuhan,
kadang lebih mirip acara stand up comedy
yang punchline-nya adalah realita:
kami tetap bayar pajak,
mereka tetap naik gaji.

Bahkan ada yang bilang:
"Pemilu bukan tentang siapa yang terbaik,
tapi siapa yang paling pintar membodohi tanpa kelihatan."

Astaghfirullah,
kalau begitu, pemilu ini semacam lomba cosplay,
siapa yang paling bisa mirip pahlawan
tanpa pernah ikut berjuang di harga pangan.

Tuhan,
berilah kami kesadaran,
agar di balik senyum manis kampanye,
kami bisa melihat siapa yang bermental pemalak,
dan siapa yang memang punya visi dari dalam hati.

Kami sadar,
tak semua calon buruk,
hanya kadang yang baik
tidak punya cukup modal untuk pasang spanduk,
atau kalah suara dari mesin politik
yang lebih kenal algoritma daripada aspirasi.

Tuhan,
biarlah satir ini menjadi doa,
bahwa di antara kebisingan politik,
masih ada yang berharap pada kejujuran
tanpa disponsori,
pada integritas
tanpa dibayar pakai akomodasi hotel bintang lima.

Bagi para calon yang masih jujur,
puisi ini untukmu—
teruslah bertahan di antara gempuran konsultan licik
dan teman seperjuangan yang bisa berkhianat
demi satu kursi tambahan.

Bagi para pemilih yang kritis,
puisi ini mengingatkan,
bahwa satu suara memang tidak bisa mengubah dunia,
tapi bisa mengubah siapa yang duduk
di balik meja keputusan lima tahun ke depan.


Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):
Puisi ini lahir dari tawa getir dan harapan besar.
Karena kadang, satu candaan yang tepat
lebih mampu menyadarkan
daripada sejuta slogan kampanye yang berisik.


Pesan Positif:
Puisi ini ditujukan untuk semua rakyat Indonesia,
agar kita tidak buta oleh baliho
dan tidak tuli oleh janji.
Pemilu adalah panggung kita juga,
jangan biarkan naskahnya ditulis oleh uang dan tipu muslihat.
Pilihlah dengan nurani,

dan awasi dengan nalar. 




Post a Comment

0Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment (0)