Pengantar Pendek:
"Katanya rakyat pemegang kuasa tertinggi,
tapi kenapa yang menekan harga justru yang punya saham tambang dan media?"
Puisi Satir: Monolog Demokrasi dalam Bayang-Bayang Oligarki
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Ya Tuhan yang Maha Pluralis,
yang mendengar jerit dari kolong jembatan
dan suara pelan di bilik suara—
dengarlah monolog demokrasi yang kini seperti
aktor utama kehilangan naskah.
Katanya dulu kami pemilik negeri,
ditulis di konstitusi dengan tinta martabat,
tapi kini suara kami sekadar angka statistik
untuk menyamarkan agenda siapa yang lebih tebal dompetnya.
Tuhan,
jika demokrasi ini masih hidup,
mohon tiupkan napas keadilan ke tenggorokan wakil-wakil kami
yang suaranya kini seperti disponsori
oleh perusahaan tambang, jaringan televisi, dan pabrik opini publik.
Kami tidak ingin melawan,
kami hanya ingin bertanya sopan:
Kapan terakhir kali demokrasi bicara tanpa dipandu teleprompter?
Dan kenapa tiba-tiba semua fraksi bisa satu suara
jika kepentingan pengusaha ikut bersuara?
Tuhan,
kami percaya Engkau Maha Satu,
tapi kenapa suara rakyat yang jutaan
kalah nyaring dari satu bos media?
Ya Tuhan yang Maha Adil,
tolong beri kami akal yang tidak mudah dikooptasi,
karena terlalu banyak iklan bertopeng aspirasi
dan pidato yang isinya seperti susunan saham:
yang atas makin naik, yang bawah menunggu waktu delisting.
Kami ini rakyat,
tapi kenapa kami harus belajar tentang
cara kerja offshore company
hanya untuk tahu siapa yang kendalikan
harga sembako dan jadwal revisi undang-undang?
Kami ini rakyat,
yang punya hak pilih
tapi seringkali tidak tahu bahwa pilihan kami
sudah dipanggang matang oleh lobi-lobi gelap
di dapur kekuasaan yang hanya bisa diakses
dengan kartu undangan eksklusif.
Tuhan,
jika demokrasi adalah pohon,
kami rela menyiramnya dengan air mata,
asal jangan ditebang untuk membuat
meja rapat pemegang saham oligarki.
Kami ini rakyat,
tapi jika terlalu vokal
dicap radikal.
Jika terlalu diam
dicap apatis.
Lantas, posisi terbaik kami di mana?
Sebagai wallpaper digital kampanye?
Ya Tuhan,
terlalu banyak partai,
tapi pilihan makin sempit.
Terlalu banyak janji,
tapi realisasi makin tipis.
Terlalu banyak debat,
tapi yang menang selalu sponsor.
Monolog ini, Tuhan,
bukan niat menghujat,
tapi kami bosan menonton teater politik
yang aktornya gonta-ganti kostum
tapi alurnya tetap sama:
rakyat dibayar pakai nasi kotak,
elit dibayar pakai proyek infrastruktur.
Tuhan,
kami lelah disebut 'pemilik suara'
tapi tak pernah punya akses ke speaker utama.
Kami capek disebut 'pilar bangsa'
tapi tiap krisis, kami yang tumbang duluan.
Parodi pun tak lucu lagi,
ketika satu keluarga bisa punya
kursi di parlemen,
kursi di kementerian,
kursi di perusahaan tambang,
dan bahkan... kursi undangan di talkshow sore.
Apakah ini demokrasi atau kursi keluarga?
Kami ingin merdeka,
dari manipulasi opini,
dari label-label bodoh seperti:
"kalau kritik, berarti anti-pemerintah"
atau
"kalau diam, berarti setuju."
Tuhan,
beri kami demokrasi yang sehat,
bukan yang tergantung pada suntikan dana kampanye
dari pemilik konsesi.
Kami ingin parlemen yang berdebat soal rakyat,
bukan soal siapa dapat jatah komisaris BUMN.
Kami ini rakyat,
tapi sering merasa seperti penonton
dalam sidang yang membahas nasib kami
dengan bahasa yang kami tak pahami
dan hasil yang sudah dibisiki dari meja makan malam elit.
Tuhan,
beri kami pemimpin
yang tak tergoda diskon saham,
yang tak gemetar di depan oligarki,
dan yang tak hanya berani
di depan kamera konferensi pers.
Tolong, Tuhan,
jika demokrasi ini panggung,
izinkan rakyat menulis naskahnya.
Biar suara kami tak lagi dimanipulasi,
diedit, atau dibisukan.
Kami ini bukan anti-pemerintah,
kami hanya pro-kesadaran.
Kami bukan oposisi,
kami hanya tak mau terus dimanipulasi.
Dan jika monolog ini terdengar sarkastik,
biarlah.
Karena kadang satu sindiran bisa lebih jujur
daripada seribu pidato bertepuk tangan.
Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):
Puisi ini bukan caci-maki,
melainkan jeritan kesadaran dalam bentuk humor getir.
Karena terkadang,
yang paling menyakitkan bukan penindasan terang-terangan,
melainkan pembungkaman yang dibungkus jargon kebebasan.
Pesan Positif:
Puisi ini ditujukan untuk para pembuat kebijakan,
pengelola media, pemimpin partai, dan semua pemilik pengaruh:
ingatlah, demokrasi tak akan hidup tanpa suara jujur rakyat kecil.
Kembalilah mendengar, sebelum suara rakyat
benar-benar berubah menjadi bisikan sunyi
yang tak lagi percaya pada panggungnya sendiri.
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."