Puisi Lucu tapi Pedih: Tentang Subsidi yang Menguap

Jeffrie Gerry
0

 




Puisi Lucu tapi Pedih: Tentang Subsidi yang Menguap

Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Pengantar Pendek:
"Katanya subsidi itu hak rakyat. Tapi kok yang kenyang justru meja rapat?"


Puisi Monolog Satir: Doa dari Kantong yang Terbakar

(Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry)

Ya Tuhan yang Maha Hemat,
hamba datang bukan dengan dupa, tapi dengan struk belanja.
Isinya sayur layu dan bensin separuh,
karena subsidi katanya ada, tapi menguap seperti janji waktu kampanye.

Hamba tidak kufur nikmat,
hamba cuma heran,
kenapa tiap harga naik, alasannya demi rakyat?
Apakah rakyat yang dimaksud itu bukan hamba,
tapi mereka yang duduk manis sambil ngopi pakai anggaran negara?

Ampuni hamba,
karena hamba mulai suudzon sama istilah “demi stabilitas”,
yang tiap kali disebut,
harga telur mendadak jadi harta karun
dan gas elpiji berubah jadi mistis: ada tapi tak nyata.

Tuhan,
hari ini hamba mau berdoa
pakai bahasa yang mereka mengerti:
bahasa statistik,
bahasa proyeksi,
bahasa presentasi dengan grafik penuh warna—
padahal warna hidup hamba tinggal abu-abu.

Tuhan,
kami rakyat bukan pengeluh profesional,
kami cuma bertanya:
mengapa subsidi yang katanya disuntik,
justru kami yang kejang-kejang?

Bantulah kami mengerti,
logika di balik kalimat:
"Subsidi dicabut agar ekonomi efisien"
Tuhan, efisiensi yang mana?
Apakah dompet hamba termasuk yang perlu dibekukan dulu baru dianggap seimbang?

Kadang hamba iri pada bensin,
dia disubsidi meski cuma sesaat.
Sedangkan cinta kami pada negeri ini,
tak pernah dihitung sebagai investasi sosial.

Tuhan,
jika memang subsidi itu beban negara,
mengapa korupsi tidak dianggap barbel?

Apakah karena beban korupsi itu
diangkat bersama-sama,
jadi terasa ringan karena kolektif?

Hamba tidak berniat menyindir,
hamba cuma melatih literasi ekonomi.
Supaya saat dompet sobek,
hamba tahu caranya menyulam dengan sabar.

Ya Tuhan,
hamba tak minta subsidi kembali,
hamba hanya ingin logika kembali waras.
Karena saat harga beras dan biaya hidup naik,
kami disuruh diet dan bersyukur sambil nyanyi lagu nasional.

Parodi ini, Tuhan,
bukan untuk menjatuhkan,
tapi sebagai pengingat,
bahwa ketika yang di bawah sudah terlalu sering mengalah,
jangan salahkan kalau mereka belajar tertawa sambil memaki.

Sungguh, kami rakyat bukan ingin jadi pembangkang,
kami hanya ingin anggaran yang lebih sayang kepada kami,
bukan cuma sayang kepada program
yang lahir dengan nama keren, tapi isi kosong.

Tuhan,
berikan kami kekuatan untuk tetap menabung,
meski tiap hari uang koin pun malu keluar dari dompet,
karena dia tahu nilai dirinya dipermainkan oleh pajak dan potongan tak masuk akal.

Beri kami ketabahan saat menonton sidang anggaran,
tempat di mana subsidi dibahas
oleh mereka yang tak pernah antri gas 3 kilo
atau bertarung rebutan minyak goreng.

Tuhan,
jika subsidi dianggap candu,
izinkan kami tetap sakau,
karena yang kami minta bukan kemewahan,
tapi sekadar ruang bernapas di tengah harga yang menjulang.

Kami paham, negara punya utang.
Tapi jangan jadikan perut kami sebagai kolateral.

Beri kami pemimpin yang mengerti rasa lapar
bukan dari riset, tapi dari perutnya sendiri.
Yang tahu bagaimana rasanya bertahan
dengan gaji UMR yang tak cukup bahkan untuk beli susu anaknya.

Tuhan,
kami bukan kaum rebahan,
kami kaum bertahan.
Bersyukur sambil berdarah-darah,
menangis sambil pura-pura kuat,
tertawa sambil jual aset warisan.

Jika hari ini subsidi menguap,
maka izinkan kami menguap juga—
bukan karena malas,
tapi karena terlalu lelah berharap.


Refleksi Penutup:
Puisi ini bukan sekadar satire,
tapi cermin kecil dari doa yang dibiarkan menggantung
di plafon rumah petak,
di angkot tua,
di warung kecil pinggir jalan,
dan di dada rakyat yang masih setia menunggu keadilan
datang, walau dengan sandal jepit.


Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):
"Puisi ini lahir dari kantong yang bolong tapi hati yang penuh, semoga ia tak sekadar jadi tawa, tapi juga pelita untuk berpikir. Kita butuh pemimpin yang bukan hanya paham angka, tapi juga rasa lapar."



Post a Comment

0Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment (0)