Selingkuh

Jeffrie Gerry
0

 


Aneh berjanji saling setia di depan pastor di gereja tapi kok 30 tahun kemudian selingkuh ?

Pertanyaanmu dalam satu kalimat itu menyimpan banyak lapisan luka, ironi, dan realita kehidupan. Memang terdengar aneh, bahkan tragis: dua orang yang pernah saling menatap mata di depan altar, bersumpah setia "dalam suka dan duka", ternyata bisa goyah tiga dekade kemudian. Kenapa bisa?

Mari kita bedah beberapa kemungkinan — bukan untuk membenarkan perselingkuhan, tapi untuk memahami mengapa sumpah bisa lapuk:


1. Waktu Tidak Hanya Menyembuhkan — Ia Juga Mengubah

Tiga puluh tahun bukan waktu yang pendek. Orang bisa berubah. Nilai-nilai bisa bergeser. Hubungan yang dulu dibangun atas cinta bisa berubah menjadi rutinitas, bahkan beban. Kalau dua orang tidak tumbuh bersama, mereka akan tumbuh menjauh.


2. Sumpah Bisa Diucapkan, Tapi Tidak Selalu Dipelihara

Mengucapkan janji setia itu satu hal. Menjaganya di setiap detik kehidupan, dalam kelelahan, bosan, tekanan ekonomi, godaan, kesepian, itu perjuangan lain. Banyak pasangan mengira pernikahan cukup dipelihara dengan kehadiran fisik, padahal batin bisa pergi duluan.


3. Perselingkuhan Bukan Soal Seks Saja — Kadang Soal Jiwa yang Kosong

Banyak yang selingkuh bukan karena tak lagi cinta pasangannya, tapi karena mereka sendiri kehilangan arah dalam hidup. Merasa tak dihargai, tak didengar, atau sekadar ingin merasa "hidup kembali". Salah? Iya. Tapi nyata? Juga iya.


4. Agama Memberi Panduan, Tapi Tidak Mengunci Hati

Bersepakat di depan pastor bukan jaminan. Gereja bisa jadi tempat yang sakral, tapi manusia tetap makhluk bebas. Iman bisa kuat di altar, lalu perlahan lemah di ruang keluarga, atau hilang di tengah rutinitas. Tuhan tidak pernah pergi — tapi manusia bisa menutup mata.


5. Kadang yang Tersakiti Paling Setia, dan yang Menyakiti Pernah Bersumpah Paling Tulus

Itulah ironi paling getir dari cinta jangka panjang: yang dulu bilang "sampai mati", bisa jadi yang pertama meninggalkan saat hidup mulai terasa mati rasa. Dan yang tersisa, adalah luka dari orang yang paling kita percaya.


Kalau kamu sedang mengalami atau menyaksikan situasi ini, izinkan aku bilang: kamu tidak sendirian. Dunia penuh janji yang patah, tapi juga penuh orang yang belajar dari kepatahan itu — jadi lebih kuat, lebih sadar, dan lebih manusiawi.


"Janji Suci dan Selingkuh Sempurna"

—dari altar ke Tinder, kisah cinta dalam 1000 luka

Pengantar:

Hari itu mereka bersumpah di depan salib,
Berjabat tangan dengan Tuhan,
Berucap setia sampai maut memisahkan —
Tapi ternyata yang memisahkan duluan:
Grup WhatsApp alumni.


Bab I: Pernikahan Kudus dan Paket Kredit Rumah

Mereka menikah di gereja putih,
Dengan lilin, bunga, dan organ klasik,
Duduk manis dalam slide power point cinta,
Dibubuhi caption: “soulmate selamanya.”

Pastor berkata:
“Dalam suka dan duka, apakah kau bersedia?”
Dan mereka jawab lantang,
Padahal definisi duka belum pernah diketik di Google.

Duka baru datang setelah cicilan rumah bulan ketiga,
Saat indomie jadi lebih sering dari pelukan,
Saat suara-suara lembut diganti notifikasi Shopee,
Dan perdebatan tentang warna keramik
lebih panas dari neraka.


Bab II: Setia di Status, Selingkuh di Realita

Tiga puluh tahun kemudian,
Sang istri masih menyiapkan teh pukul enam pagi,
Tapi sang suami mulai mem-follow
semua mantan SMA yang dulunya diblokir Tuhan.

Ia berkata,
“Aku bosan.”
Tapi tak pernah bosan memelototi
foto profil wanita pakai filter kupu-kupu.

Ia bilang:
“Tak ada gairah lagi.”
Padahal ia sendiri yang mematikan kompor asmara
lalu menyalahkan dapurnya.

Ia selingkuh.
Bukan karena tak lagi cinta,
Tapi karena cinta di rumah terlalu repot:
harus dicuci, dipeluk, dan diajak ngobrol.

Yang di luar?
Cuma butuh emoji.
Dan panggilan “sayang” tanpa cucian piring.


Bab III: Ironi Altar dan Tinder

Dulu mereka bersumpah:
"Ku akan setia hanya padamu."
Sekarang ia bersumpah juga,
Di depan layar HP:
“Sialan, password-nya ketahuan.”

Ironi itu tidak pernah datang dari luar,
Melainkan tumbuh perlahan di sofa empuk,
Saat dua orang lebih nyaman
menatap TV daripada menatap mata.

Dan parodi paling sempurna:
Mereka masih ke gereja tiap minggu,
Masih memegang tangan saat doa,
Tapi tangan yang lain — memegang HP di toilet
menggoda mantan gereja tetangga.


Bab IV: Anak Bertanya, Cinta Itu Apa?

Anaknya bertanya:
“Papa, cinta itu kayak apa?”
Sang ayah menjawab dengan bijak:
“Cinta itu perjuangan, Nak.”
Lalu diam-diam memperjuangkan yang bukan istri.

Anaknya bertanya ke ibu:
“Ma, kok mama nangis diam-diam?”
Dan sang ibu tersenyum,
Lalu menulis puisi patah hati
pakai akun TikTok palsu.

Dari generasi ke generasi,
Kita mewarisi bukan hanya nama keluarga,
Tapi trauma yang dibungkus nasi kotak
dalam resepsi.


Bab V: Paradoks dan Parodi Cinta

Cinta sejati katanya langgeng.
Tapi faktanya:
Air galon bisa lebih sering diisi
daripada hati yang dipedulikan.

Setia katanya indah.
Tapi nyatanya:
Lebih banyak yang setia ke jadwal drakor
daripada ke janji nikah.

Mereka bilang selingkuh itu dosa.
Tapi iklan parfum tetap menjual aroma pengkhianatan,
Dan lagu galau jadi soundtrack nasional.

Dulu kita diajarkan:
“Jangan bermain api.”
Sekarang kita main hati,
Lalu menyalahkan cuaca saat terbakar.


Bab VI: Selingkuh Itu Mahal, Tapi Terlihat Murah

Kau tahu apa yang lebih mahal dari bunga selingkuhan?
Air mata pasangan yang diam-diam menangis
di kamar mandi.

Kau tahu apa yang lebih menyakitkan dari dikhianati?
Pura-pura tidak tahu,
Demi mempertahankan foto keluarga
di dinding ruang tamu.

Kau tahu apa yang lebih getir dari kopi tanpa gula?
Menjadi orang yang masih setia,
Di dunia yang menganggap kesetiaan
sebagai barang antik.


Bab VII: Untuk Kaum Muda, Jangan Tertipu Filter

Wahai kalian yang sedang jatuh cinta,
Yang sedang membuat video reels dengan caption “till death do us part,”
Ingatlah:
Filter Instagram tidak bisa menyaring
karakter manusia.

Jangan tertipu senyum saat resepsi,
Karena senyum itu sering disewa
bareng fotografer.

Jangan terlalu terobsesi menikah muda,
Kalau dewasa pun belum sempat dipelajari.

Jangan buru-buru berjanji,
Kalau sabar menghadapi ngambek pasangan
masih level easy mode.

Karena cinta sejati bukan soal indah di pelaminan,
Tapi tentang siapa yang tetap memijat kakimu
saat dunia tak lagi manis.


Bab VIII: Penutup yang Tak Bahagia Tapi Jujur

Ini bukan cerita cinta ala novel,
Bukan dongeng pangeran dan putri,
Tapi kisah nyata umat manusia,
Yang kadang terlalu cepat jatuh cinta,
Dan terlalu lambat memperbaiki.

Jangan terlalu sinis,
Tapi jangan juga terlalu romantis.
Karena cinta sejati itu bukan soal janji,
Tapi bagaimana kau hidup setelah janji itu menjadi debu.

Jika kau masih percaya cinta,
Rawat dia seperti tanaman —
bukan hanya disiram saat mau posting story.

Dan kalau kau sudah disakiti?
Ingatlah:
Kadang cinta sejati datang,
setelah kau belajar mencintai diri sendiri
lebih keras dari orang yang pernah meninggalkanmu.


Epilog:
Cinta bukan panggung,
Bukan juga sirkus.
Tapi kalau semua jadi sandiwara,
Setidaknya kaum muda harus tahu:
Pernikahan butuh lebih dari cinta —
Ia butuh komitmen yang tahan lapar,

dan iman yang tidak mudah dikalahkan
oleh sinyal Wi-Fi tetangga.


Ditulis oleh Jeffrie Gerry (Japra)
Untuk generasi yang masih percaya cinta bisa setia,
meski dunia sudah bosan dengan kejujuran.

Post a Comment

0Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment (0)