📜 Pengantar Singkat:
“Di zaman ini, lembaran puisi tak lagi berharga, kecuali bisa ditukar dengan lembaran pajak. Maka mari kita berdoa... sambil menyindir.”
LEMBARAN PAJAK & LEMBAR PUISI
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
(Monolog di Hadapan Cermin E-Faktur dan Cinta yang Telah Dikenai PPN)
Wahai Tuhan,
Izinkan aku berdoa hari ini bukan di altar gereja,
Bukan pula di tikar sajadah atau ujung altar pura,
Melainkan di depan form SPT tahunan
Yang lebih sakral dari kitab suci —
Karena salah isi, kutukannya bisa nyata: "Denda lima ratus ribu rupiah!"
Ya Tuhan,
Apakah surga juga dipotong pajak final?
Apakah pahala bisa dikreditkan ke NPWP?
Dan dosa… ah, mungkin masuk kategori biaya tak bisa dikurangkan?
Aku lahir dari keluarga penyair,
Ayahku menulis puisi tentang kemiskinan dan kejujuran,
Ibuku menyulam sajak dalam resi belanja.
Kami hidup sederhana,
Tapi kini sederhana itu mahal.
Kini aku bekerja,
Bukan di redaksi sastra, tapi di akuntansi kantor negara,
Membubuhkan stempel pada setiap bait kehidupan:
"Telah dibayar pajaknya, sesuai dengan pasal sekian ayat sekian."
Ironi pertama:
Puisi tak laku dijual,
Tapi tiket konser puisi bisa dijadikan objek PPN 11%.
Ironi kedua:
Katanya cinta itu tak ternilai,
Tapi undangan pernikahan tetap harus dihitung biaya cetaknya.
Dan jika diadakan di gedung,
Jangan lupa, itu ada pungutannya juga.
Pernah kutulis puisi untuk kampanye nasional:
"Hidup sehat, hidup hemat, bayar pajak tepat."
Lalu puisiku disalin, dipotong, dijadikan jingle,
Tanpa namaku,
Tapi, aku diberi ucapan terima kasih...
...dalam bentuk kopi instan dan snack biskuit kadaluarsa.
(Dialog dalam Dada, Monolog dalam Data)
“Hai Jiwa,
Mengapa kau lebih takut lupa bayar pajak,
daripada lupa minta maaf pada Ibu?”
— Karena DJP bisa mengirim surat cinta.
Ibu hanya diam dan menangis pelan.
Kini lembara hidupku terdiri dari:
-
Bukti potong PPh 21
-
KTP
-
Surat cinta mantan yang sudah lunas ditertawakan.
(Parodi Peraturan dan Puisi Romantis)
Puisi:
"Kau hadir dalam hidupku seperti senyuman pagi."
Peraturan:
"Setiap penghasilan, termasuk senyum, wajib dilaporkan bila berdampak ekonomis."
Puisi:
"Cintaku padamu seperti langit: luas dan bebas."
Peraturan:
"Pembebasan objek pajak hanya berlaku bila terdapat ketentuan jelas."
(Doa dalam Paragraf Sarkasme Ringan)
Ya Tuhan,
Berkatilah negara kami yang suci ini,
Yang membangun jalan tol dari pajak rakyat,
Lalu menjual kembali aksesnya kepada rakyat,
Dengan tarif progresif dan saldo e-money yang absurd.
Kami patuh, kami jujur, kami tertib,
Kami mengantre di pagi hari untuk lapor pajak,
Tapi lupa mengantre di malam hari untuk maaf kepada sesama.
Karena pajak wajib.
Sedangkan maaf,
Masih tergolong "pengeluaran opsional yang tidak diklaim."
(Puisi Intermezzo ala Marketing Pajak)
"Bayarlah pajak dengan cinta,
Negara akan balas dengan infrastruktur dan janji kampanye."
“Laporkan SPT Anda,
Agar surga tidak menolak pengajuan Anda masuk...”
Aku ingin mencetak puisi di kertas glossy,
Tapi tinta mahal,
Jadi aku hanya bisa menulis di benak dan mencetaknya di udara.
Sayangnya,
Udara kini pun dipajaki oleh oksigen berbayar dari rumah sakit.
(Dialog Dengan Petugas Pajak Fiktif)
Saya: “Puisi saya tentang penderitaan dan pengabdian, apakah bisa dikurangkan sebagai CSR?”
Petugas: “Tergantung, apakah puisinya memiliki nilai ekonomi?”
Saya: “Puisi ini membuat orang menangis.”
Petugas: “Menangis tidak termasuk dalam laporan keuangan.”
(Paradox Cinta dan Pajak)
Jika aku menikah tanpa resepsi,
Apakah aku dianggap tak membayar pajak hiburan?
Jika aku menulis puisi untuk kekasih,
Tanpa dijual,
Apakah itu bentuk penghindaran pajak kreatif?
Jika aku mengutip bait puisi dari penyair asing,
Tanpa royalti,
Apakah itu termasuk transfer pricing intelektual?
Tapi mari jangan kelam sepenuhnya.
Ada sinar terang di balik slip pajak.
Pesan Moral (Serius di Tengah Lelucon):
Pajak itu perlu.
Ia membangun jalan, jembatan, dan bahkan internet yang kau pakai membaca puisi ini.
Tapi puisi juga perlu.
Ia membangun hati, membangun empati,
Dan mengingatkan bahwa kita manusia, bukan hanya objek pajak.
Mari jangan saling benci.
Petugas pajak juga punya keluarga.
Penyair pun juga lapar.
Mari kita bikin perjanjian damai:
Negara, tolong hargai puisi kami.
Dan kami akan bayar pajak dengan suka cita —
Asal jangan lupa,
Berikan senyum juga pada seniman negeri ini.
(Doa Penutup)
Tuhan,
Jika lembaran pajakku belum sempurna,
Ampunilah.
Tapi jika puisiku jujur dari hati,
Tolong jadikan itu amal tak kasat mata
Yang tak perlu dilaporkan,
Tapi kau catat dengan cinta.
✍️ Sepatah Kata dari Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Puisi ini adalah cermin absurd dari kehidupan kita yang berlari di antara cinta dan kewajiban, antara hati dan formulir.
Saya tidak mengajak untuk melawan sistem, tapi mengajak untuk menyadari bahwa sistem pun sebaiknya tidak melawan manusia.
Bila pajak itu perlu, maka puisi juga perlu.
Karena negara tanpa hati, hanya tinggal formulir dan denda.
Dan hidup tanpa puisi, hanyalah rangkaian data yang tak pernah kita kenang.
Puisi ini ditujukan kepada:
-
Para penyair yang tetap menulis meski puisinya tak pernah viral,
-
Para petugas pajak yang bekerja jujur dan tersenyum walau dihujat,
-
Dan untuk semua warga yang masih percaya bahwa kejujuran bisa dibungkus dalam tawa.
Jika Anda tersenyum hari ini karena puisi ini —
Itu gratis.
Tak perlu dipotong PPh.
📜✨
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."