Sarkasme di Pasar Tradisional Modern

Jeffrie Gerry
0

 


Pengantar Pendek:

"Di pasar tradisional yang kini bersertifikat modern, kami belajar bahwa plastik lebih sabar daripada manusia."


Sarkasme di Pasar Tradisional Modern

Karya pujangga digital: Jeffrie Gerry (Japra)

(Doa Pembuka)
Ya Tuhan yang Maha Melihat,
yang tahu harga cabai sebelum naik,
yang paham isi hati pedagang sebelum ditawar,
izinkan aku berdoa…
dengan mulut kompor dan hati kulkas,
sebab panasnya hari ini bukan karena cuaca,
tapi karena senyum palsu dalam brosur “Pasar Modern Rakyat Berseri”.

(Monolog di Pagi yang Bau Plastik dan Aspirasi Kadaluarsa)
Ampunilah aku, Tuhan,
karena pagi ini aku membeli keju Swiss dari tukang tahu,
yang katanya udah dilatih lewat program “Inovasi UMKM Go Global”,
tapi tak tahu perbedaan antara keju dan sabun batangan.

Pasar ini—yang dulu becek, kini kinclong—
berkat sapu Instagram dan pengepel anggaran.
Semua mengkilap, kecuali hati pedagangnya,
yang terpaksa jualan dengan lidah bermerketing,
tapi hati masih berharap ada pembeli yang bilang:
“Tambah seribu, Bang, buat sarapan anak.”

(Sajak Etalase Berdebu)
Kini, sayur mayur ditata seperti puzzle IKEA,
dengan label harga warna pastel
dan kode QR yang tak pernah dipindai,
sebab pelanggan setianya—Mak Ijah—
lebih percaya pada bisikan timbangan
daripada robot kasir yang menyapa:
“Selamat bertransaksi, pelanggan bahagia!”

Tuhan,
jika ini disebut kemajuan,
mengapa dagangan mereka tinggal harapan,
sementara bangunan pasar
cuma jadi latar belakang untuk foto konten “bangga belanja lokal”?

(Doa dalam Lirih Kasir Manual)
Ya Tuhan,
dulu kami teriak “lima ribu tiga ikat!”,
sekarang harus bilang “Promo! Cashback e-wallet tertentu!”
Padahal dompet kami masih bolong,
dan sinyal Wi-Fi lebih cepat dari doa penjual bakul rempah.

Berilah pengampunan
pada kami yang pura-pura paham digitalisasi,
padahal pencet kalkulator saja
masih butuh bantuan anak bungsu.

(Parodi di Lapak yang Tergadai)
Inilah ironi terbesar zaman:
Pasar rakyat dibuat seperti mall kecil
tapi rakyatnya disuruh senyum pakai utang.
Plafon tinggi, lampu terang,
tapi atap usaha rakyat bocor kena pajak kios.

Setiap pedagang wajib punya logo,
brosur, bahkan pitch deck.
“Buat presentasi, Pak. Investor datang minggu depan.”
Investor?
Yang datang cuma debt collector dan petugas retribusi.
Yang hilang?
Rasa saling percaya antar pedagang—
digantikan persaingan diskon dan kupon undian.




(Refleksi Sambal dan Sarden)
Tuhan,
aku rindu zaman di mana keringat menjadi mata uang,
bukan QR Code.
Zaman di mana “utang dulu, bayar habis panen”
lebih sakral dari tanda tangan di e-contract.
Kini semua serba sistem.
Termasuk senyum pedagang,
yang dicicil lima kali lewat pelatihan motivasi.

(Paradoks Layanan Premium di Warung Pecel)
Warung pecel kini pakai pemesanan digital.
Tapi sambalnya tetap disendok dengan tangan gemetar,
karena sejak listrik naik,
rice cooker mereka dipensiunkan lebih cepat.

Pelayanan katanya harus ramah,
tapi kalau pelanggan nawar terlalu banyak,
dilaporkan ke Satpol via aplikasi.
Beginilah zaman.
Pelanggan dianggap raja,
tapi rajanya harus tunduk pada sistem
yang bahkan tak tahu bedanya tempe goreng dan tempe mendoan.

(Sarkasme Dikirim Bersama Belanjaan)
Ada pengumuman:
“Pasar ini telah tersertifikasi sebagai Pasar Tradisional Modern Ramah Lingkungan.”
Ramah?
Setiap hari masih pakai plastik tiga lapis
untuk cabe lima biji.
Lingkungan?
Got belakang pasar mampet oleh kemasan promo
dari produk-produk yang katanya “menyejahterakan pedagang lokal.”

(Doa Terakhir untuk Dagangan yang Belum Laku)
Ya Tuhan,
jika benar ini disebut kemajuan,
tolong, ajari kami cara tertawa tanpa menertawakan nasib sendiri.
Beri kami kekuatan,
bukan hanya untuk bangun lapak,
tapi juga untuk membangun harapan
di tengah gemerlap yang membutakan.

Ajari kami menyusun mimpi
dari sayur sisa dan senyum lelah,
agar besok,
ketika pasar dibuka,
kami masih punya semangat,
bukan cuma sisa struk pembelian.

Dan jika boleh, Tuhan,
tolong bisikkan pada para pejabat,
bahwa bangunan megah bukan jaminan kesejahteraan.
Bahwa merapikan kios tak berarti memperbaiki hidup.
Dan bahwa modernisasi tak boleh membunuh tradisi—
apalagi dengan cara yang penuh euforia tapi minim empati.

(Penutup yang Tak Laku di Diskon)
Jadi, inilah pasar kami:
di mana mimpi dijual per kilo,
dan harapan bisa dicicil lewat aplikasi.
Pasar modern yang katanya maju,
tapi tetap berdoa agar pembeli tidak hanya datang untuk konten story.


Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):
Puisi ini bukan untuk menyalahkan siapa-siapa, tapi untuk mengajak kita tertawa sedikit lebih dalam. Bukan untuk menyindir mereka yang membangun pasar, tapi untuk mengingatkan bahwa manusia di dalamnya tak bisa digantikan dengan sistem. Di balik kata “modern”, masih ada mulut yang ingin makan dan hati yang ingin dimengerti. Semoga puisi ini jadi cermin, bukan palu.


Post a Comment

0Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment (0)