Puisi tentang Gaji yang Tak Beranjak

Jeffrie Gerry
0

 


Pengantar Pendek:

“Katanya rezeki diatur Tuhan, tapi gaji diatur rapat tahunan.”
Mari kita doakan bersama: semoga angka di slip gaji tak selamanya stagnan seperti patung kuda di bundaran.


Puisi Satir Monolog: "Gaji yang Tak Beranjak"

Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


(1) Doa Pagi Seorang Profesional Abadi
Ya Tuhan,
Hari ini aku kembali bekerja,
dengan semangat yang diseduh kopi sachet dua ribu perak,
karena Starbucks belum seikhlas aku dalam menghadapi tanggal tua.
Tuhan,
berikanlah aku kekuatan,
untuk tersenyum melihat angka gaji yang sama
dari zaman presiden masih pakai Orba hingga sekarang pakai OVO.


(2) Aku dan Slip Gaji: Cinta Tak Berbalas
Slip gaji itu seperti mantan,
selalu datang tiap bulan,
tapi tak pernah membawa kabar baik.
Katanya aku berkontribusi luar biasa,
tapi gaji tetap biasa luar.
Katanya ekonomi membaik,
tapi aku masih naik ojol bonceng sepatu bolong.


(3) Rapat Evaluasi: Monolog di Balik Laporan PowerPoint
Di ruang rapat aku bersorak:
“Pertumbuhan 12%! Target tercapai!”
Tapi hatiku berbisik:
“Lalu kenapa dompetku tetap seperti es teh gratis—banyak es, kurang teh?”
Atasanku mengangguk puas,
sambil menandatangani bonus tahunan sendiri.
Aku?
Mendapatkan nasi kotak dan ucapan “Semangat, ya!”


(4) Paradoks Bernama Produktivitas
Produktivitasku naik 200%,
tapi gaji hanya naik 0,0003%—itu pun karena dibulatkan.
Gaji dan aku seperti LDR:
Aku makin dekat dengan lembur,
ia makin jauh dari kenaikan.


(5) Dialog Imajinasi: Aku dan Tuhan HRD
“Kenapa gaji saya segini terus, Pak?”
“Oh, itu karena Anda loyal.”
“Kalau saya tidak loyal?”
“Kami rekrut yang loyal lagi, dengan gaji lebih kecil.”
“Kenapa begitu?”
“Karena kami berjiwa startup: besar omong, kecil nominal.”
Aku pun tertawa,
tak tahu apakah lucu atau luka.


(6) Rekeningku, Rekening-Mu, Tapi Saldo Siapa?
Saldo akhir bulan itu seperti sulap,
baru muncul, langsung menghilang.
Gaji datang seperti sinar matahari di musim hujan:
sebentar, langka, dan bikin ilusi hangat.
Aku mencoba menabung,
tapi ATM lebih sering digunakan untuk cek saldo, bukan tarik tunai.


(7) TikTok dan Tips Investasi
Di media sosial, influencer berteriak:
“Investasikan gajimu, jangan foya-foya!”
Aku jawab:
“Gaji saya saja sudah foya-foya sebelum saya sentuh.”
Mereka bilang:
“Ubah mindset!”
Aku bilang:
“Mindset saya sudah kaya, hanya dompet saya yang ketinggalan zaman.”


(8) Kantor yang Menjanjikan "Keluarga Kedua"
Mereka bilang kantor ini seperti keluarga.
Benar,
karena seperti keluarga,
tak pernah membayar jasa babysitter secara penuh.
Aku pun diundang makan bersama,
bukan untuk merayakan kenaikan gaji,
tapi untuk potluck ulang tahun kantor—
aku bawa gorengan, direktur bawa doa.


(9) Kalender Kerja: Hari Kerja Lebih Banyak dari Hari Gajian
Hari gajian datang seperti sinetron:
satu episode per bulan.
Tapi hari kerja seperti iklan YouTube:
berulang, tanpa skip, dan kadang tak relevan.
Setiap tanggal muda, dompet muda harapan,
setiap tanggal tua, dompet tua ampunan.


(10) Doa Penutup
Ya Tuhan,
Jika Engkau tak bisa membuat gajiku naik,
setidaknya turunkan harga ayam.
Jika itu juga terlalu berat,
maka tolong tambahkan isi dompetku
dengan keikhlasan yang cukup,
untuk menghadapi kenyataan—
bahwa aku bekerja keras untuk tidak miskin,
tapi tetap gagal kaya.


Epilog: Refleksi di Warung Kopi
Gaji boleh tak naik,
tapi harga-harga melesat seperti roket Elon Musk.
Kita diam bukan karena setuju,
tapi karena takut tidak dapat THR.
Namun dalam ironi ini,
ada pelajaran untuk semua:
Bahwa kerja keras tidak cukup,
kalau sistemnya keras kepala.


🎁 Pesan Positif

Puisi ini ditujukan untuk semua pekerja yang setia,
yang tetap profesional meski saldo pas-pasan,
yang tetap tersenyum meski tahu slip gaji tak berubah,
yang masih percaya bahwa harapan tidak perlu digaji—cukup dirawat.

Kita tidak harus menjatuhkan siapa pun,
cukup ajak mereka ngopi dan lihat mata kita:
ada cermin kesadaran di balik kelakar.


✍️ Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):

“Puisi ini bukan hanya satir untuk mereka yang menentukan angka,
tapi juga cermin bagi kita yang lupa menuntut layak,
karena terlalu sibuk mengejar loyalitas yang tak pernah dibayar.”



Post a Comment

0Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment (0)