Paradoks Kemiskinan di Tengah Gedung Mewah
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Pengantar Pendek:
"Langit-langit apartemen menggapai bintang, tapi di bawahnya ada perut yang merintih lapar sambil menatap ke atas — berharap jatuh sebutir nasi."
Monolog Satir: Doa dari Kolong Beton
Ya Tuhan,
Tuhanku yang tinggal di langit tinggi —
mungkin di lantai 73 Tower Kapital,
tempat jendelanya dari kaca bening,
tapi hatinya buram oleh saham dan rencana pembangunan.
Aku berdoa dari kolong flyover,
bukan karena aku lebih dekat dengan-Mu,
tapi karena apartemen sewa harian pun kini dibayar harian penuh tangis.
Dari balik tumpukan kardus bekas mimpi,
aku bersujud dengan lutut yang lututnya pun ingin menyerah.
Tuhanku,
ampuni hamba yang miskin ini —
miskin uang, miskin kuota, miskin harapan,
tapi kaya akan pertanyaan.
Kenapa gedung-gedung semakin tinggi,
tapi nasibku makin menyempit?
Kenapa setiap hotel bintang lima ada gym,
tapi kami masih harus lari dari kenyataan?
Tuhanku,
aku bukan iri, hanya sedikit penasaran,
kenapa yang tidur di kasur empuk
lebih sering mimpi buruk daripada kami yang tidur beralaskan trotoar.
Dengarlah, ya Tuhan,
aku berdoa untuk para pemilik gedung yang gagah,
agar mereka diberi hati selembut kasur premium mereka,
dan mata yang bisa melihat lebih jauh dari CCTV.
Ajarkanlah mereka
bahwa taman kota bukan cuma dekorasi Instagram,
tapi satu-satunya tempat kami bisa rebah tanpa ditendang satpam.
Tuhanku yang adil dan bersahaja,
di dalam lift gedung megah,
orang-orang bicara tentang investasi properti,
sementara aku tak bisa invest apa-apa,
kecuali percaya: besok mungkin aku bisa makan.
Di negeri ini,
kemiskinan bukanlah dosa,
tapi dianggap kutukan.
Kami dicurigai bahkan sebelum bicara,
dicaci sebelum punya cita-cita.
Mereka bilang kami malas —
padahal kami lari lebih pagi dari alarm para konglomerat,
dan tidur lebih malam dari lampu jalan.
Kami bukan tak mau kerja, Tuhan,
hanya saja, pekerjaan kini lebih mengenal ijazah
daripada peluh yang jatuh.
Lihatlah sekeliling, Tuhan,
di bawah gedung pencakar langit itu
ada tukang parkir yang tak pernah punya mobil,
ada tukang cuci mobil yang tak pernah naik taksi,
ada penjaga keamanan yang tidur di ruang sempit
demi mengamankan apartemen yang tak pernah bisa dia beli.
Dan aku bertanya dalam sujudku yang absurd:
Apakah kemewahan itu hanya untuk yang bisa cicil kartu kredit,
sementara kami yang cicil utang warteg harus menunduk selamanya?
Tuhanku,
bila boleh aku mengusulkan,
bisakah Engkau tambahkan satu pasal dalam kitab-Mu:
“Berbahagialah mereka yang miskin, karena mereka tahu nilai satu bungkus nasi.”
Atau:
“Jangan kau bangun menara di atas reruntuhan kemanusiaan.”
Kau lihat, Tuhan,
sarkasme ini bukan kebencian,
melainkan bentuk doa yang sudah putus saluran formalnya.
Kami sudah lapor ke RT, RW, kelurahan,
tapi jawaban selalu sama:
“Sabar ya, kami rapatkan dulu dengan developer.”
Oh Tuhanku yang Maha Developer,
beri kami minimal tipe 36 dalam nurani,
walau tanpa AC, asal tak ada pendinginan nurani juga.
Berilah kami rumah,
bukan hanya secara fisik,
tapi tempat di masyarakat
di mana kami dianggap manusia,
bukan sekadar potensi perusak pemandangan kota.
Dan kepada para penghuni lantai-lantai langit:
Kami tak butuh belas kasihan,
kami hanya ingin tak dianggap gangguan visual.
Kami juga manusia, bukan pop-up iklan di mata kalian.
Kami juga punya cerita,
tapi bedanya, bukan disampaikan lewat vlog di YouTube,
melainkan lewat batuk-batuk akibat polusi,
dan diam panjang karena kelaparan.
Tuhanku,
andai nanti Engkau panggil kami satu-satu,
tolong jangan panggil berdasarkan rekening bank.
Panggillah kami atas nama perjuangan dan kejujuran.
Dan andai boleh,
beri kami satu tempat yang lapang,
di mana tak ada branding properti,
hanya rumput, langit, dan damai —
semacam surga versi subsidi.
Pesan Akhir: Refleksi di Antara Beton
Puisi ini kupersembahkan kepada:
para pemilik harapan yang tinggal di lorong, emper, dan sudut kota,
yang bertahan hidup bukan karena gaji,
tapi karena tekad tak menyerah.
Juga kepada para penguasa ruang kota,
agar sesekali menyelami kota bukan dari kaca mobil,
tapi dari jalan kaki di trotoar yang retak —
tempat kenyataan berdiri tegak,
meski sering disingkirkan.
Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):
"Puisi ini bukan peluru, tapi kaca pembesar.
Agar yang di atas tak lupa melihat ke bawah,
dan yang di bawah tahu bahwa suara mereka pun bisa bergema,
asal kita tak berhenti berdoa… meski kadang sambil tertawa getir."
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."