Parodi Nasionalisme dalam Iklan Televisi

Jeffrie Gerry
0

 


Pengantar

"Tiap detik di layar kaca, bangsa dijual dengan jingle ceria."
— Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Doa Nasionalisme Iklan 30 Detik

Karya: Pujangga Digital – Jeffrie Gerry (Japra)

Ya Tuhan yang Maha Sponsorship,
kami bersujud dalam slot iklan berdurasi singkat.
Dalam keheningan antara sinetron dan sepak bola,
kami mohon:
berilah kami nasionalisme edisi promo,
yang bisa dicicil tanpa bunga,
dan diantar gratis sampai ke rumah,
asal tanda tangan kontrak dan pakai aplikasi buatan luar negeri.

Ampunilah kami,
yang mencintai negeri ini
hanya saat bendera dikibarkan di sudut iklan deterjen,
dan ketika anak TK menyanyikan lagu kebangsaan
di tengah diskon besar-besaran Hari Kemerdekaan.
Kami bangga,
dengan suara merdu diiringi drum elektronik,
“Cintailah produk dalam negeri!”
— sambil menyisipkan gambar pabrik di luar negeri
dan aktor Korea yang menjual sambal lokal.

Ya Tuan Produser Semesta,
karuniakan kami naskah nasionalisme
yang tidak terlalu panjang dan tetap viral.
Biar pas ditonton di antara scroll TikTok,
cukup menggetarkan selama lima detik pertama,
lalu disisipi logo sponsor dan tagline:
“Bersatu Kita Diskon, Bercerai Kita Bayar Normal.”

Izinkan kami menangis,
pada adegan anak petani menatap kamera,
sebelum muncul promosi pulsa murah
yang katanya “untuk menyatukan bangsa.”
Kami bangga pada negeri ini,
sebagaimana kami bangga pada testimoni palsu
dan CGI bendera merah putih yang berkibar di galaksi Marvel.

Kami bersumpah:
akan mencintai Indonesia
selama ada bundling nasionalisme dengan kuota YouTube,
dan selama iklan mie instan masih menyisipkan kalimat:
“Rasa Nusantara, dari dapur pabrik multinasional.”

Ya Allah, Tuhan Semua Endorse,
bukakan mata hati kami,
yang tertutup oleh filter IG bertema perjuangan,
dan doakan influencer kami
yang sedang mereview makna kemerdekaan
dari kafe estetik di Bali,
sambil caption-nya:
“Merdeka itu bisa healing kapan aja.”

Ampuni kami,
yang membaca Pancasila sambil mencari promo PayLater,
yang bangga akan budaya,
selama itu dikurasi dalam konten sponsoran
dan tidak mengganggu estetika feed Instagram.

Wahai Dewa Rating dan Share,
beri kami hidayah algoritma,
agar nasionalisme kami tetap muncul di beranda,
meski tidak sempat menanam pohon,
asal bisa menanam hashtag:
#CintaIndonesia #MerdekaStyle #NKRIPriceDrop

Jangan salahkan kami,
kalau lagu wajib terdengar seperti jingle sabun,
karena kami memang tumbuh bersama iklan,
bukan bersama kisah para guru di pelosok
atau petani yang tak masuk storyboard.
Jangan salahkan kami,
kalau bendera dijadikan latar video klip,
karena kami lebih hafal brand ambassador
daripada nama-nama pahlawan.

Ya Tuhan Parodi yang Tak Pernah Lelah,
jika suatu hari bendera kami pudar warnanya,
tolong jangan disalahkan ke deterjen asing.
Mungkin karena kami lebih suka
merayakan kemerdekaan dengan lomba endorse,
daripada menyapa tetangga yang kesusahan makan.

Kami mohon,
jika nasionalisme ini tak lagi menyala di dada,
tolong ganti baterainya.
Pakai yang orisinal—jangan KW.
Dan jika kami tersesat
di antara iklan investasi bodong
berlabel “Anak Bangsa Bangkit!”,
tolong kirimkan kami sinyal.
Minimal sinyal 4G.

Sampaikan salam kami pada founding fathers,
dan bilang:
"Maaf, nasionalisme kini harus tampil estetik,
biar bisa naik FYP.”
Jangan bilang kami tak cinta negeri ini.
Kami cinta, sungguh cinta,
apalagi kalau ada cashback dan voucher ongkir.

Wahai Ibu Pertiwi,
maafkan jika kami mencium tanahmu
lewat drone shot saja.
Maafkan jika cinta kami padamu
dibatasi durasi 30 detik,
karena setelah itu,
iklan lainnya harus tayang juga.


Refleksi & Pesan

Puisi ini bukan amarah.
Bukan pula peluru sinis yang menembak wajah siapa pun.
Ini adalah cermin,
yang diselipkan dalam kantong tawa dan parodi,
agar kita bisa tertawa sambil berpikir,
dan berpikir tanpa tersinggung.

Bagi siapa puisi ini?
Untuk para produser yang menulis skenario cinta negeri
dengan durasi ketat dan rating target.
Untuk penonton,
yang menonton nasionalisme seperti sinetron sore.
Untuk para kreator,
yang menggubah lagu perjuangan menjadi ringtone.
Dan terutama untuk kami semua,
yang kadang mencintai Indonesia…
dalam resolusi HD,
tapi dengan koneksi hati yang buffering.

Semoga suatu hari nanti,
nasionalisme tak butuh iklan,
karena sudah tumbuh di napas,
bukan di layar.

— Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)



Post a Comment

0Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment (0)