Satire BBM: Bahan Bakar Mimpi

Jeffrie Gerry
0

 


Satire BBM: Bahan Bakar Mimpi

Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Pengantar:
“Katanya BBM naik demi rakyat. Mungkin maksudnya: demi rakyat yang kuat… menahan lapar.”
Begitu deru doa menguap di pom bensin, bersama aroma subsidi yang disulap jadi strategi.


SATIRE BBM: BAHAN BAKAR MIMPI
Puisi Monolog Satir dalam Doa, Sarkasme, Parodi, Ironi, dan Paradoks

(Tuhan, izinkan aku berseru... dari antrean pom bensin yang lebih panjang dari masa depan.)

1. Doa di Tengah Asap

Ya Tuhan Yang Maha Pengisi Tangki,
hamba-Mu ini datang, dengan sepenuh harap dan kantong kosong.
Bukan hendak menyindir keputusan langit,
hanya bertanya—kenapa setiap kali BBM naik, iman kami langsung turun?

Apakah surga-Mu memakai tarif per liter juga?
Apakah pahala akan dibagikan lewat aplikasi MyPertikiran?
Mohon maaf, ini bukan doa biasa.
Ini keluhan berminyak dari rakyat yang tak sempat naik kendaraan,
karena terlalu sibuk jalan kaki menuju logika.

2. Iklan di Tengah Kenyataan

Katanya: “BBM naik, agar pembangunan bisa lanjut.”
Oh iya, kami lihat itu.
Gedung tinggi, jalan tol baru,
sayangnya yang tumbuh bukan dompet kami,
tapi daftar cicilan dan wajah-wajah lesu.

Lucu ya, Pak?
Subsidi dicabut demi efisiensi,
tapi efisiensi hanya berlaku untuk yang tak berdaya.
Para pejabat tetap full tank —
karena negara kan menanggung mimpi mereka.

3. Antrean di Jalan Doa

Pernahkah Kau lihat antrean BBM, Tuhan?
Kami menyatu, lintas kasta dan usia:
Ojol dengan helm retak,
ibu rumah tangga dengan anak merengek,
dan lelaki renta yang hanya ingin pulang.

Mereka antre, bukan untuk bensin,
tapi untuk sedikit harapan di tangki tua.
Bensin itu bukan bahan bakar,
tapi bahan pertimbangan,
antara kerja atau tidur tanpa makan.

4. Parodi Pompa Nasional

Ada yang bilang: “Harga BBM kita masih murah dibanding negara lain.”
Betul, Pak. Tapi gaji kami juga jauh lebih murah dari negara lain.
Logika yang adil itu bukan bandingkan harga,
tapi bandingkan daya tahan perut.

Kami bukan makhluk komparatif.
Kami manusia — bukan statistik globalisasi.
BBM boleh naik,
tapi jangan buat moral rakyat turun,
dengan alasan yang seperti mainan di ruang tunggu anak-anak DPR.

5. Sarkasme dari Knalpot

Selamat datang di negeri aromaterapi aspal,
di mana setiap ciuman asap motor adalah bentuk kasih dari kebijakan ekonomi.
“Kalau tak sanggup beli bensin, ya naik sepeda!”
Tentu, Tuan. Tapi bolehkah kami pinjam jalannya dulu?
Yang itu lho, jalan lebar hasil dari pajak kami yang katanya belum cukup itu.

Dan katanya: “Gunakan transportasi publik!”
Aduh, Tuan.
Bis kota datang seminggu sekali,
dan isinya seperti konser metal, tapi tanpa musik,
hanya peluh dan desahan kecewa.

6. Ironi Bertangki Penuh

Paling ironis itu bukan saat kami isi BBM pakai recehan,
tapi saat mobil dinas lewat — plat merah, kaca gelap,
dengan tulisan “Melayani dengan Hati” di belakangnya.
Melayani siapa?
Kami tak pernah dilayani —
hanya diawasi, dihitung, lalu disensor.

Kami rakyat bukan robot,
meski hidup kami seperti dijalankan sistem otomatis.
Begitu BBM naik, semua harga ikut naik.
Tapi gaji?
Naiknya nunggu wangsit, atau akhir zaman.

7. Paradoks Bahan Bakar Mimpi

Yang paling indah dari BBM adalah maknanya:
Bahan Bakar Mimpi.
Sayangnya, mimpi kami lebih sering terbakar
daripada terbang.

Dulu kami bermimpi punya usaha,
sekarang bermimpi saja sudah mahal.
Karena biaya mimpi dihitung dari daya beli,
dan daya beli kami telah digadai untuk makan hari ini.

Kami jadi seperti kendaraan tua:
butuh dorongan iman tiap pagi,
dan doa tiap sore agar masih bisa pulang.

8. Doa Penutup di SPBU Kehidupan

Ya Tuhan,
jika BBM adalah ujian-Mu,
maka kuatkan hati kami…
tapi tolong, beri juga diskon batin untuk tetap percaya.

Kami tak butuh subsidi belas kasihan,
kami butuh kebijakan yang tak perlu kami doakan agar adil —
karena keadilan sejati tak menunggu suara rakyat
berubah jadi teriakan di TikTok dan status galau.

Biarlah anak cucu kami hidup di negeri
di mana mimpi tak harus diisi dengan oktan 92.
Cukuplah cinta, kejujuran, dan niat tulus jadi bahan bakar.


Sepatah Kata dari Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)

Puisi ini ditulis bukan untuk melukai, tapi untuk membangunkan.
Bukan untuk mengutuk, tapi menggugah.
Sebab dalam satire, kita menemukan wajah kita sendiri —
kadang tertawa, kadang tertegun,
namun semoga tak pernah abai pada nurani.

Puisi ini aku persembahkan untuk:
Rakyat yang masih mengantre harapan
di tengah kenaikan harga dan turunnya empati.
Untuk mereka yang masih bisa tersenyum,
meski hidup terasa seperti motor kehabisan bensin di tanjakan.


"Kadang yang perlu diisi bukan hanya tangki, tapi juga hati yang mulai kosong karena terlalu sering ditinggalkan kebijakan."
Jeffrie Gerry (Japra)


 

Post a Comment

0Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment (0)