Pengantar Pendek:
"Tuhan, beri aku rezeki yang cukup, tapi jangan cukup-cukup amat—nanti cicilan marah."
Begitu doa dilafal, tapi kenyataannya, bahkan cukup pun terasa mustahil.
Doa untuk Uang yang Tak Pernah Cukup
Karya pujangga digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Tuhan yang Maha Kaya,
aku datang dengan saldo yang minus dan wajah penuh harap,
duduk bersimpuh di altar tagihan listrik,
berlutut di hadapan kontrakan yang tak kunjung lunas,
tangan menengadah bukan karena pasrah,
tapi karena dompetku memohon mukjizat
sebesar diskon 90% di tanggal gajian yang lewat begitu saja.
Tuhan,
jika uang adalah ujian,
maka izinkan aku remedial setiap hari,
karena tiap tanggal tua, aku mendadak saleh,
mendadak rajin doa,
mendadak puasa—bukan karena iman,
tapi karena mi instan habis dan tetangga mulai curiga
kenapa kompor tak pernah menyala.
Kau bilang rezeki tak pernah tertukar,
tapi kenapa rezekiku kayaknya disensor?
Dipotong pajak, dipotong admin,
dipotong angsuran, dipotong kebutuhan tak terduga,
dan akhirnya... dipotong harapan.
Aku tidak marah, Tuhan,
aku hanya ingin tahu:
apa aku salah jurusan hidup?
Kenapa aku kerja keras,
tapi uang keras kepala?
Kenapa aku lembur,
tapi gaji malah lembek kayak hati mantan saat ulang tahun?
Katanya uang bukan segalanya,
tapi tanpa dia, segalanya terasa
...terasa ingin menyerah saja.
Tuhan,
aku berusaha jadi manusia baik,
tak korupsi, tak merampok, tak tipu-tipu,
tapi kok yang kaya raya justru yang ahli bersembunyi di balik badan hukum?
Mereka punya mobil tiga, istri dua, dan prinsip satu:
“asal aku senang, dunia terserah.”
Tuhan,
aku tahu Engkau Maha Melihat,
maka izinkan aku pinjam matamu sejenak:
lihatlah aku,
yang mencicil senyum di pagi hari,
menyewa tawa di sore hari,
dan memalsukan ketenangan di story IG.
Aku bukan iri, Tuhan,
aku cuma pengen
hidup wajar tanpa rasa khawatir lihat notifikasi rekening.
Tanpa deg-deg-an kalau dompet ketinggalan—
soalnya isinya juga kosong.
Kau tahu, Tuhan,
bahkan motivator pun kehabisan motivasi untuk memotivasi kami
yang hidup di antara angka gaji dan harga beras,
yang disuruh bersyukur atas nasi,
padahal lauknya cuma bayang-bayang gaji yang belum cair.
Katanya bersyukur adalah kunci,
tapi kuncinya hilang di tengah inflasi.
Katanya hidup bukan soal uang,
tapi kenapa hidup terus-terusan menagih?
Cicilan, kontrakan, pendidikan, kesehatan,
bahkan mati pun butuh biaya!
Kuburan sekarang bisa dicicil 12 bulan,
dengan bunga yang membuat arwah pun gelisah.
Tuhan,
aku tidak menuntut kekayaan yang mewah,
hanya cukup untuk:
makan tanpa stres,
tidur tanpa mimpi dikejar debt collector,
dan bisa bilang “ayo traktir” tanpa disusul panik.
Aku ingin uang bukan jadi Tuhan kecil di dompetku,
yang menentukan nilai harga diriku,
yang bikin orang tua malu
karena anaknya belum bisa beli rumah meski sudah kerja dua dekade.
Tuhan,
apa aku harus jadi selebgram dulu
baru bisa makan enak tiap hari?
Apa harus jadi pendusta bermodal jas
baru bisa disebut sukses?
Katanya kerja keras tak menghianati hasil,
tapi kerja keras ku kayaknya dihianati sistem.
Lembur tak dibayar,
gaji dipotong,
dan atasan bilang, “ini demi perusahaan.”
Perusahaannya sehat,
tapi karyawan malah kritis.
Tuhan,
jika hidup ini lelucon,
maka aku sedang tertawa di tengah derita.
Jika ini ujian,
aku sudah lama nyontek dari motivasi palsu di media sosial.
Mereka bilang:
"Jangan menyerah!"
Tapi lupa ajarkan
cara hidup dengan gaji UMR dan biaya hidup yang premium.
Tuhan,
aku percaya Engkau Adil,
maka jangan biarkan kami hanya jadi bahan lelucon statistik,
yang katanya menengah,
padahal hampir ke bawah.
Aku tak ingin uangku melimpah
hingga aku lupa diri,
cukup supaya aku bisa bayar hidupku sendiri,
dan tidak merasa bersalah tiap kali beli kopi.
Sepatah Kata dari Sang Pujangga Digital
Puisi ini bukan untuk mengeluh,
tapi untuk membuka mata bahwa hidup bukan hanya soal mengejar angka.
Ia adalah tentang bagaimana kita tetap manusia
meski dunia menuntut kita jadi mesin pencetak uang.
Semoga ini menjadi doa yang jujur dan jenaka,
bukan hanya untuk diri sendiri,
tapi untuk siapa pun yang pernah merasa bahwa cukup itu terlalu mahal.
Untuk mereka yang bekerja keras tapi selalu merasa kurang,
untuk orang tua yang menahan lapar demi sekolah anaknya,
untuk para pejuang tanggal tua—
semoga puisi ini jadi napas sejenak,
dan pengingat bahwa kita masih hidup… meski uang belum cukup.
— Jeffrie Gerry (Japra)
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."