Parodi Pemimpin: Antara Janji dan Realita

Jeffrie Gerry
0

 


Pengantar Pendek

"Tuhan menciptakan lidah untuk berkata jujur, manusia menciptakan podium untuk latihan berbohong."
Di antara janji-janji yang dikemas seperti brosur wisata, dan realita yang lebih mirip jalan berlubang — lahirlah puisi ini.


Parodi Pemimpin: Antara Janji dan Realita

Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)

(Doa Pembuka: Untuk Mereka yang Sudah Menang Sebelum Bertanding)
Ya Tuhan,
yang Maha Melihat segala kebohongan dibalut jas,
berikanlah kami pemimpin yang setidaknya
tahu beda antara visi dan selfie.

Berikanlah mereka hati,
bukan hanya template pidato dari tim kreatif.
Bimbinglah mereka agar ingat:
mic bukan mainan,
dan podium bukan panggung stand-up komedi politik.

(Pasal Satu: Saat Janji Dijual Grosir)
Dulu, ia berdiri gagah,
tangannya menepuk dada,
"Rakyat adalah prioritas!" katanya.
Sayangnya, setelah menang,
yang diprioritaskan justru prioritas internal.

Ia berkata:
"Akan saya benahi jalan rusak!"
Tapi yang dibenahi lebih dulu
adalah jalan masuk ke vila pribadinya.

Ia bilang:
"Saya bukan koruptor!"
Tapi tanda tangannya sudah laku di empat proyek siluman
dan dua koper seminar luar negeri.

(Mazmur Para Juru Kampanye)
Berbahagialah mereka yang bisa berteriak
"Pemimpin kami bersih!"
sambil menutup mata dan dompetnya.

Berbahagialah mereka yang bisa menangis
melihat bendera dikibarkan,
meski tahu tiangnya dibangun dari pajak yang digelapkan.

Sungguh indah demokrasi kita:
dimana rakyat dipanggil "bos",
tapi hanya bisa protes lewat komentar.

(Parodi Wawancara TV: Ed. Khusus Pemimpin Baru)
— Selamat Bapak! Anda terpilih! Apa program unggulan Anda?
— Menghapus kemiskinan!
— Luar biasa! Apa langkah konkret Anda?
— Menghapus definisinya dari data statistik.

— Apa pesan Anda untuk rakyat?
— Bersabar.
— Dan untuk para pejabat?
— Bersyukurlah kita hidup di negeri yang mudah lupa.

(Paradoks Pemimpin Suci dan Dompet Berdosa)
Ia solat berjamaah di masjid besar,
tapi stafnya tak pernah berjamaah dalam keputusan.

Ia bicara moral di forum global,
tapi mengunci toilet kantor karena takut karyawan mencuri sabun.

Ia mewajibkan netralitas ASN,
tapi memberi amplop bertuliskan "Tali Kasih untuk Masa Depan Cerah".

Ia menangis saat disumpah,
bukan karena sadar tanggung jawab,
tapi karena kontraknya belum sampai empat periode.

(Doa Rakyat yang Tak Pernah Tuntas)
Ya Tuhan,
jika janji adalah mata uang,
maka izinkan kami beli nasi pakai pamflet kampanye.

Jika suara kami dianggap suci,
maka tolonglah,
jangan kotori dengan tawa kemenangan
yang lebih cocok untuk iklan deterjen.

Jika pemimpin adalah wakil kami,
maka setidaknya wakilkan juga rasa lapar kami
di meja makan dinasnya.

(Interlude Sarkastik: Pemimpin Versi Update 2.0)
Kini pemimpin tak lagi naik kuda,
tapi naik trending topic.
Bajunya bukan zirah,
tapi hoodie kekinian.

Janji bukan ditulis di batu,
tapi di Twitter, lalu dihapus 3 hari kemudian.
Rakyat bukan dikumpulkan di lapangan,
tapi di YouTube Live:
dengan filter senyum dan komentar dimatikan.

(Anekdot: Seminar Kepemimpinan Instan)
— Mau jadi pemimpin? Gampang!
Langkah 1: Pakai jargon.
Langkah 2: Pelajari cara tersenyum dalam tekanan.
Langkah 3: Tunjuk kambing hitam.
Langkah 4: Selalu katakan "akan kami evaluasi."
Langkah 5: Sembunyikan niat asli di balik hashtag nasionalisme.

(Mazmur Untuk Rakyat yang Terlalu Baik Hatinya)
Berbahagialah rakyat
yang mengirimkan doa setiap hari
agar pemimpinnya sadar diri,
meski tahu,
kesadaran tak bisa dipaksakan
apalagi dibeli lewat tender fiktif.

Berbahagialah rakyat
yang tidak melempar batu,
meski sering dilempar janji.

Berbahagialah rakyat
yang tetap bekerja,
meski pemimpinnya sibuk konferensi ke luar negeri
untuk belajar cara menulis laporan palsu
dengan bahasa diplomatik.

(Penutup: Doa yang Paling Diamini Semesta)
Ya Tuhan,
jika Engkau izinkan satu doa kami hari ini terkabul,
maka jangan izinkan pemimpin kami lupa,
bahwa kursi bukan takhta kekal,
dan kekuasaan bukan hak asasi.

Ajarkan mereka,
bahwa pemimpin bukan dilihat dari jumlah baliho,
tapi dari seberapa sedikit rakyat mengeluh dalam hati.

Ajarkan kami,
bahwa memilih bukan hanya soal warna kemeja,
tapi soal siapa yang mau mendengar
meski tanpa mikrofon.

Dan jika semua ini hanya parodi,
setidaknya jadikan kami penontonnya yang cerdas,
bukan figuran dalam drama panjang
berjudul “Negara, Tapi Sementara”.


Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra)

Puisi ini bukan untuk menertawakan siapa-siapa,
melainkan untuk mengajak kita semua
tertawa sebentar,
agar tidak menangis terlalu lama.

Sebab kadang, dalam satu bait parodi,
tersimpan pelajaran yang lebih jujur
daripada satu jam pidato resmi.


Puisi ini dipersembahkan untuk:
Seluruh pemimpin, calon pemimpin, mantan pemimpin,
dan terutama rakyat—yang tak pernah benar-benar pensiun
dari harapan.



Post a Comment

0Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment (0)