Paradoks Patriotisme di Negeri Sendiri
Pengantar:
"Di negeri di mana bendera merah putih dikibarkan, namun hati terkadang bertanya: patriotisme itu untuk siapa sebenarnya?"
Karya pujangga digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Paradoks Patriotisme
Ya Tuhan,
kami berdoa dalam paradoks suci ini —
negeri yang kami cintai,
tempat kami menari di atas panggung ambisi dan ironi.
Kami kibarkan bendera,
lalu berbisik, "Apakah cinta itu dibayar dengan janji kosong?"
Kami pasang foto pahlawan di dinding,
tapi lupa siapa yang membayar listrik untuk menghidupkan TV.
Doa kami bukan hanya untuk merdeka,
tapi juga untuk memerdekakan jiwa dari hipokrisi yang manis,
karena di sini, patriotisme terkadang seperti uang receh:
sering dibuang, jarang dihargai.
Kami mengucap sumpah setia di depan kamera,
dengan senyum lebarnya yang lebih palsu dari kwitansi korupsi.
Kami bersorak untuk kemenangan tim sepak bola,
tapi diam membisu saat hak kami dilanggar.
Oh Tuhan, anugerahilah kami keberanian,
untuk mencintai negeri ini tanpa harus membutakan mata,
untuk menjadi patriot sejati tanpa harus menutup telinga
dari jeritan rakyat kecil yang terpinggirkan.
Paradoks!
Kami mencintai Indonesia dengan sepenuh hati,
tapi hati itu pun sering kali dikontrak, dijual, dan disewakan.
Kami berteriak "Merdeka!",
tapi merdeka seperti apa yang kami rayakan,
kalau lapar dan kemiskinan masih duduk di sebelah meja makan?
Kami memuji jasa pahlawan,
tapi menghitung untung rugi ketika ingin berbagi.
Kami bangga dengan bahasa dan budaya sendiri,
namun bahasa kejujuran justru semakin hilang.
Kami berdoa,
agar kelak patriotisme bukan sekadar kata di monumen,
tapi nafas yang mengalir dalam setiap tindakan nyata.
Bukan slogan kosong di spanduk kampanye,
tapi sikap yang tumbuh dari hati yang ikhlas.
Doa kami juga untuk para pemimpin,
agar jangan hanya pandai beretorika,
tapi mampu mendengar suara rakyat yang tersembunyi di sudut kota.
Agar tidak sekadar menjual janji,
tapi menjual kepercayaan dan membawa perubahan.
Tuhan, anugerahkan kami kebijaksanaan,
agar bisa bercermin tanpa takut melihat noda di wajah bangsa.
Karena cinta sejati bukan membutakan,
tapi membuka mata dan hati untuk bertindak benar.
Kami parodikan kemewahan dengan kesederhanaan,
membuat sarkasme dari ketidakadilan,
karena hanya dengan humor pun kami bisa bertahan
di negeri yang kadang lupa pada makna kata "patriot".
Paradoks terindah:
Kami mengaku cinta tanah air,
namun sering lupa cinta pada tetangga, pada sesama, pada diri sendiri.
Kami bangga dengan identitas bangsa,
namun membiarkan perpecahan dan kebencian merajalela.
Kami ingin hidup damai,
namun perang saudara kecil terus berlangsung di jalan dan pikiran.
Kami ingin adil,
tapi sering membiarkan ketidakadilan berlenggang bebas.
Namun kami berdoa,
agar kelak patriotisme bukan hanya seremonial,
tapi menjadi cara hidup —
berbagi, peduli, dan berjuang bersama.
Doa kami agar setiap jiwa menyadari,
bahwa cinta pada negeri bukan hanya soal bendera dan lagu,
melainkan tentang bagaimana kita memperlakukan sesama,
tentang keberanian berkata jujur, dan berani menuntut kebaikan.
Paradoks yang kami hadapi bukan untuk membuat kami menyerah,
tapi untuk membuat kami bangkit lebih kuat,
dengan tawa sarkasme yang menampar,
dan doa yang tulus dari hati yang penuh harap.
Kami berdiri di sini,
dengan puisi sebagai senjata, dan cinta sebagai perisai,
mengajak setiap pembaca untuk merenung,
menemukan patriotisme sejati di dalam diri sendiri.
Pesan Positif untuk Pembaca:
Mari kita renungkan bersama bahwa patriotisme sejati bukan hanya soal slogan dan upacara, tapi tindakan nyata yang membawa kesejahteraan dan keadilan bagi semua. Dengan kesadaran dan humor, kita bisa membangun negeri ini menjadi tempat yang lebih baik — bukan hanya untuk kita, tapi untuk generasi yang akan datang.
Puisi ini dipersembahkan untuk semua warga negeri yang merindukan kejujuran dalam cinta tanah air dan keberanian dalam bertindak.
Tentang Pujangga Digital, Jeffrie Gerry (Japra):
“Puisi ini adalah ungkapan hati sekaligus kritik membangun yang ingin membuka mata kita semua. Satire bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk mengingatkan dan membangkitkan semangat perubahan dengan cara yang ringan namun menggigit.”
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."