Pengantar Pendek:
“Di negeri merdeka katanya, kau bebas bicara—asal bukan yang sebenarnya.”— Renungan sunyi dari keramaian yang tak lagi bersuara.
Sarkasme Tentang Kebebasan yang Dibungkam
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Tuhan, izinkan kami berdoa
Bukan karena yakin Kau mendengar,
Tapi karena mikrofon kami disita negara.
Kami bersyukur, ya Tuhan,
Atas kebebasan yang terselip rapi
Dalam pasal-pasal yang bunyinya seperti
"Awas kau kalau salah ucap, nanti dihitung makar."
Kami menari di atas panggung demokrasi,
Dengan tali transparan mengikat jemari.
Tepuk tangan?
Pasti.
Asal jangan tanya kenapa lakon tak pernah berubah sejak Orde dibubuhi baru.
Tuhan,
Kebebasan kami sudah dibungkus plastik anti-retak,
Dijual mahal dalam etalase pesta rakyat.
Slogannya manis,
“Kau bebas bicara.”
Kecuali jika bicaramu
Tak semanis janji pemilu.
Kami diajarkan bahwa lidah tak bertulang,
Tapi bisa dipatahkan
Oleh undang-undang yang lentur seperti karet gelang.
Bisa panjang, bisa pendek,
Tergantung siapa yang sedang pegang palu dan meja bundar.
Doa kami sederhana, Tuhan.
Bukan minta rezeki atau jodoh,
Tapi:
"Berilah kami hak untuk mengeluh
Tanpa harus diberi label penghianat bangsa."
Kami ini warga negara
Yang cintanya kepada tanah air
Sebesar ketakutannya pada kata "subversif".
Mereka bilang kita sudah merdeka.
Tentu saja!
Merdeka dari kejujuran,
Merdeka dari kritik,
Merdeka dari berpikir.
Kami ini manusia—atau sirkus yang disuruh tepuk?
Tuhan,
Jika nanti aku bicara terlalu lantang,
Dan ada yang tersinggung padahal tak kusebut nama,
Biarlah Kau saja yang tahu bahwa
“Yang tersinggung biasanya tahu dirinya siapa.”
Kami pun telah belajar cara hidup harmonis:
Tertawa saat pahit,
Memuji saat pahit,
Dan berdoa agar sensor tidak menyentuh status WhatsApp kami.
Ah ya, privasi.
Kata yang kini lebih fiksi daripada novel distopia.
Katanya dunia digital itu ruang bebas.
Tapi kami tahu:
Bebas itu hanya jika datamu tak viral.
Karena sekali viral,
Pendapatmu bukan lagi milikmu—
Tapi milik pasukan siber yang tak pernah tidur.
Tuhan,
Kalau dulu nabi-nabi dipenjara karena berkata benar,
Sekarang kami dibungkam karena menulis puisi.
Maaf jika bait-bait ini terasa pahit,
Tapi kami hanya manusia yang ingin mencicip rasa
Dari mulut sendiri,
Bukan dari prompter berita malam.
Mereka bilang jangan salah paham,
Padahal tak pernah menjelaskan.
Mereka bilang jangan percaya hoaks,
Padahal faktanya dikunci.
Ironis, bukan?
Negara katanya milik rakyat,
Tapi rakyat disuruh diam demi nama stabilitas.
Kau boleh tertawa, tapi jangan keras.
Boleh menangis, asal bukan di jalan raya.
Tuhan,
Kami sudah tak tahu mana satire, mana kenyataan.
Karena pemimpin kami sering bercanda,
Tapi rakyatnya diseriusi dalam penjara.
Kami dijanjikan ruang aspirasi,
Tapi yang kami temukan
Hanyalah dinding–dinding algoritma
Yang membungkam dengan senyum emoji.
Katanya Tuhan itu Maha Mendengar.
Maka dari itu, kami berdoa hanya pada-Mu
Karena aparat sibuk menyadap
Tapi tak pernah benar-benar mendengar.
Kami bukan musuh negara, Tuhan.
Kami hanya warga yang lapar
—Bukan hanya akan nasi,
Tapi akan kejujuran dan transparansi.
Dan jika nanti puisi ini dianggap subversif,
Kami mohon maaf pada kamus bahasa
Karena kata-kata kehilangan makna
Di tangan penguasa kata yang sembarangan membaca.
Tuhan,
Ajarkan kami diam yang tidak pasrah.
Ajarkan kami patuh yang tak berarti tunduk.
Ajarkan kami bicara tanpa dibisukan
Oleh bendera yang dikibarkan di kantor-kantor sensor.
Kami akan tetap menulis, Tuhan,
Bukan untuk menghasut,
Tapi untuk mengingatkan:
Bahwa diam yang terlalu panjang
Bisa membuat ingatan menjadi lupa
Dan sejarah ditulis oleh editor yang lapar kuasa.
Tuhan,
Kami ingin menjadi warga yang baik,
Tapi definisi 'baik' kini milik siapa?
Kami tahu, di dunia ini
Hanya dua hal yang tak bisa disensor:
Hati nurani
Dan kenangan masa kecil.
Jadi jika semua alat rekam dimatikan,
Kami akan menggambar kebebasan
Dengan krayon di dinding rumah,
Dan mengucapkannya dalam doa sebelum tidur.
Sepatah Kata dari Sang Pujangga:
“Puisi ini bukan peluru. Tapi bila kata-kata lebih ditakuti dari senjata, barangkali yang terluka bukan tubuh, tapi nurani bangsa.”
Pesan Positif:
Puisi ini ditujukan kepada para pemimpin, pembuat kebijakan, pendidik, pegiat literasi, dan seluruh warga bangsa yang mencintai kemerdekaan sejati. Dengan ironi dan sarkasme sebagai cermin, karya ini mengajak kita semua untuk merefleksikan makna kebebasan yang hakiki—bukan hanya sebagai slogan, tetapi sebagai hak hidup yang dilindungi.
Karena tanpa suara yang boleh bersuara,
Tak ada bangsa yang benar-benar merdeka.
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."