Pengantar Pendek:
“Di negeri yang sibuk menghafal Pancasila, kadang lupa bagaimana cara mengamalkannya.”— Sebait renungan dari rakyat yang sering disuruh diam, tapi tetap disuruh cinta negeri.
Puisi Doa untuk Negeri yang Gagal Paham
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Tuhan yang Maha Paham,
Kami datang dengan kepala menunduk
Dan akal yang patah-patah,
Berdoa bukan karena putus asa,
Tapi karena sinyal logika di negeri ini
Sudah sering lost connection.
Kami menghadap-Mu,
Karena siapa lagi yang mau mendengar?
Menteri sibuk rapat, wakil sibuk selfie,
Warga sibuk debat,
Semua paham, kecuali makna bernegara.
Negeri kami, Tuhan,
Punya seribu definisi tentang “cinta tanah air”,
Tapi satu praktiknya:
Tunjuk-tunjukkan, saling teriak, lalu tidur nyenyak.
Kami ini rakyat biasa.
Tugas kami katanya hanya satu:
Memilih dan membayar.
Memilih pemimpin, membayar kesalahan mereka.
Tuhan yang Maha Satire,
Lihatlah negeri kami
Yang menamakan dirinya Republik Demokrasi,
Tapi takut sekali kalau rakyatnya berpikir sendiri.
Katanya kritik itu vitamin,
Tapi kenapa kalau kami menyuapkan pil pahit,
Mereka langsung muntah…
Dan kami dipanggil radikal?
Negeri kami, Tuhan,
Suka sekali dengan kata “visi”,
Padahal mata minus semua
Dan sering lupa pakai kacamata nurani.
Mereka sibuk menyusun cetak biru pembangunan,
Tapi lupa:
Yang mereka bangun bukan manusia,
Melainkan mall, tol, dan baliho wajah sendiri.
Kami berdoa dalam diam,
Karena berdoa keras bisa dituduh makar.
Kami merenung di trotoar,
Karena mimbar sudah dipenuhi slogan.
Tuhan,
Ajarkan kami sabar.
Karena setiap kali kami tanya,
“Mengapa kami miskin?”
Jawabnya adalah:
“Kamu kurang bersyukur.”
Lucu, ya Tuhan?
Orang miskin diminta bersyukur,
Orang kaya diminta dihormati,
Yang menindas minta dimaklumi,
Dan yang berteriak dianggap tidak tahu diri.
Tuhan yang Maha Parodi,
Negeri ini lucu:
Korupsi dianggap cobaan,
Dan keadilan dianggap target jangka panjang.
Kalau rakyat lapar,
Katanya suruh berwirausaha.
Kalau penguasa salah,
Katanya “itu manusiawi”.
Sungguh ironis, Tuhan,
Di negeri ini, kita disuruh hormati pemimpin
Karena jabatan,
Bukan karena keadilan.
Tolong ampuni kami, Tuhan,
Kalau doa kami terdengar sarkastik.
Tapi kami ini rakyat kecil,
Yang kadang hanya bisa ketawa pahit,
Di tengah debat tak bermutu
Tentang siapa yang paling nasionalis
Padahal lupa caranya bertoleransi.
Kami cinta negeri ini, sungguh.
Tapi negeri ini kadang seperti pasangan toxic:
Menyuruh setia,
Tapi tak pernah benar-benar mendengar.
Katanya “merdeka itu hak segala bangsa”,
Tapi kalau beda pendapat,
Kita ditanya:
“Kamu masih cinta negara ini nggak?”
Kami doakan, Tuhan,
Semoga para pemimpin kami
Bisa membedakan antara “disindir” dan “didoakan”.
Semoga mereka tahu,
Bahwa satire kami bukan karena benci,
Tapi karena peduli—dengan cara yang tak dipahami televisi.
Tuhan,
Negeri kami sudah terlalu banyak konten edukatif,
Tapi minim perilaku yang mendidik.
Kami diajak bicara soal “etika digital”,
Tapi tak pernah diajari bagaimana
Beretika dalam kenyataan fisik.
Negeri ini katanya berkembang.
Tapi kalau berbeda sedikit,
Kita dikembalikan ke zaman batu:
Diintimidasi, diasingkan,
Lalu dilupakan.
Tuhan,
Kami percaya Engkau Maha Mengetahui,
Termasuk tahu bahwa gagal paham
Itu bukan karena kurang sekolah,
Tapi karena menolak belajar dari kenyataan.
Kami ini rakyat yang dituduh kurang ajar,
Padahal hanya ingin bertanya:
“Kenapa negeri kaya ini membuat warganya harus begadang demi diskon sembako?”
Lucu, ya Tuhan?
Kami diajak mencintai budaya,
Tapi hidup kami dibentuk dari utang luar negeri dan konten viral Korea.
Kami doakan negeri ini panjang umur,
Supaya sempat sadar.
Karena kalau tidak,
Yang mati lebih dulu bukan rakyat,
Tapi nurani dan akal sehatnya.
Tuhan yang Maha Menerima Keluhan,
Biarlah puisi ini
Menjadi doa yang tak berbunyi mulia,
Tapi jujur dari hati yang lelah ditertawakan
Karena tak ikut tertawa
Saat lelucon bangsa ini
Semakin tidak lucu.
Sepatah Kata dari Sang Pujangga:
"Puisi ini bukan untuk menyakiti, tapi untuk mengetuk. Karena kadang yang keras bukan kepala, tapi telinga yang memilih tidak mau mendengar."
Pesan Positif:
Puisi ini ditujukan untuk siapa pun yang masih mencintai negeri ini dengan cara yang jujur dan kritis.
Untuk para pemimpin, pendidik, warga muda dan tua, serta para pemilik panggung kekuasaan yang kadang lupa, bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan perhiasan.
Karena negeri ini tidak butuh pujian palsu,
Melainkan keberanian untuk paham bahwa paham itu butuh belajar,
Bukan sekadar merasa benar.
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."