Surat Cinta untuk Subsidi yang Hilang: Aku, Pengabdi Asap dan Janji

Jeffrie Gerry
0

 


🔍 Pengantar Pendek

“Katanya, negara ini ibu pertiwi. Tapi kenapa anaknya selalu disuruh puasa subsidi?”

Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


✍️ Isi Puisi Satir

I
Aku, manusia bergaji cukup untuk beli sebungkus harapan
tapi tak cukup untuk beli bensin, beras, dan kesabaran.
Katanya: subsidi itu racun, katanya: subsidi itu candu,
lalu mereka suntikkan candu itu ke pabrik-pabrik yang tak kutahu.
Sementara aku?
Aku menghisap harga pasar dengan paru-paru rakyat jelata
yang bahkan tak tahu beda antara “ekonomi makro” dan “diskon cuci gudang”.

II
Pernah, suatu malam…
aku kirim SMS pada Tuhan, bertanya,
"Apakah Kau yang cabut subsidi ini, atau itu kerjaan tangan manusia?"
Tuhan diam, lalu PLN ikut-ikutan padam.
Kegelapan itu demokratis:
semua rumah sama-sama gelap,
kecuali yang punya genset dan kabel ke langit-langit pajak.

III
Mereka bilang: "Kami bantu yang paling berhak!"
Aku tanya, siapa yang paling berhak?
Katanya, yang punya NIK, NPWP, dan KTP berwarna sakral.
Tapi kenapa, ketika aku mengetuk pintu kantor subsidi,
yang buka pintu justru… lobi-lobi korporasi?
Mereka menyuguhkan aku secangkir inflasi,
diselingi camilan janji-janji musiman—
dibungkus plastik ramah lingkungan,
yang ramah di mulut tapi nyangkut di tenggorokan.

IV
Aku pernah jadi relawan kampanye,
dibayar mie instan dan ucapan “negara butuh orang seperti kamu.”
Tapi ketika kutagih janji:
“Subsidi listrik akan kami tambah!”
Mereka jawab:
“Kamu salah dengar. Kami bilang: subsidi akan ditambah... untuk elit tetangga sebelah.”
Sialnya, telingaku terlalu miskin untuk paham permainan diksi
yang tajam di podium tapi tumpul di meja makan.

V
Lihatlah!
APBN itu seperti pacar toksik:
tiap tahun bilang “ini demi kamu,”
tapi tiap bulan justru pacari pengusaha minyak dan tambang.
Mereka bilang: “Kita ini negara maju!”
Tapi jalanku masih becek, dan ojek langganan naik tarif seperti Tuhan naik ke langit ketujuh.

VI
Aku pernah berdoa di warung kopi
dengan mantra: “Ya Tuhan, turunkan harga cabe dan beri diskon untuk hidup.”
Tapi yang turun justru hujan pajak
dan harga hidup naik seperti sinetron jam tujuh—
selalu dramatis, tak masuk akal, dan penuh iklan pemilu.

VII
Subsidi?
Itu bukan untukku,
itu untuk mereka yang bisa menulis proposal 17 halaman
berisi kata-kata manis seperti “berkelanjutan” dan “inklusif”
yang entah artinya apa,
tapi bunyinya seperti mantra pemanggil uang dari langit kementerian.

VIII
Aku menonton berita sambil makan nasi kucing,
Layar berkata: “Subsidi tepat sasaran!”
Tapi aku lihat si pemilik SPBU baru beli kapal layar.
Lalu kubuka dompet,
dan hanya ada foto mantan serta bon belanja minggu lalu
yang mengandung kenangan akan harga minyak goreng sebelum subsidi dilepas seperti ayam kurus dari kandang kapital.

IX
Kadang aku berharap, subsidi itu seperti mantan kekasih—
meski pergi, masih sempat kirim kabar.
Tapi ini?
Ia pergi diam-diam, tanpa pamit, tanpa penjelasan,
dan tiap kutanya,
jawaban yang kuterima hanya:
“Kamu harus lebih mandiri. Kamu bukan anak kecil lagi.”
Tapi kenapa, ketika oligarki nangis, subsidi buru-buru digendong seperti balita jatuh dari stroller kekuasaan?

X
Hei, kalian yang duduk di atas tumpukan pajak rakyat!
Tahukah kalian,
subsidi bagiku bukan kemewahan—
ia adalah hak untuk hidup tidak terlalu sengsara.
Namun kalian menaruhnya di museum sejarah,
dengan papan bertuliskan:
“Dulu, negara pernah peduli. Tapi sekarang, kami sibuk investasi moral pada startup dosa.”


💭 Refleksi Penutup

Puisi ini adalah jeritan jenaka dari rakyat kecil yang terlalu sering diberi nasihat agar “bersyukur”, padahal ia disuruh berdiri di atas karpet licin bernama realita. Sindiran ini menyasar mereka yang menyulap subsidi menjadi komoditas politik, bukan alat kesejahteraan. Melalui ironi dan parodi, puisi ini ingin mengingatkan: bahwa subsidi bukan soal belas kasihan, melainkan soal keadilan. Jika negara benar hadir, maka jangan hanya muncul di spanduk dan pidato, tapi juga di meja makan rakyat yang lapar.


“Negara Hadir di Papan Reklame: Sebuah Ode untuk Subsidi yang Tak Pernah Singgah”


🔍 Pengantar Pendek

“Katanya, negara ini ibu pertiwi. Tapi kenapa anaknya selalu disuruh puasa subsidi?”

Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


✍️ Isi Puisi Satir

I

Aku, manusia bergaji cukup untuk beli sebungkus harapan
tapi tak cukup untuk beli bensin, beras, dan kesabaran.
Katanya: subsidi itu racun, katanya: subsidi itu candu,
lalu mereka suntikkan candu itu ke pabrik-pabrik yang tak kutahu.
Sementara aku?
Aku menghisap harga pasar dengan paru-paru rakyat jelata
yang bahkan tak tahu beda antara “ekonomi makro” dan “diskon cuci gudang”.

II

Pernah, suatu malam…
aku kirim SMS pada Tuhan, bertanya,
"Apakah Kau yang cabut subsidi ini, atau itu kerjaan tangan manusia?"
Tuhan diam, lalu PLN ikut-ikutan padam.
Kegelapan itu demokratis:
semua rumah sama-sama gelap,
kecuali yang punya genset dan kabel ke langit-langit pajak.

III

Mereka bilang: "Kami bantu yang paling berhak!"
Aku tanya, siapa yang paling berhak?
Katanya, yang punya NIK, NPWP, dan KTP berwarna sakral.
Tapi kenapa, ketika aku mengetuk pintu kantor subsidi,
yang buka pintu justru… lobi-lobi korporasi?
Mereka menyuguhkan aku secangkir inflasi,
diselingi camilan janji-janji musiman—
dibungkus plastik ramah lingkungan,
yang ramah di mulut tapi nyangkut di tenggorokan.

IV

Aku pernah jadi relawan kampanye,
dibayar mie instan dan ucapan “negara butuh orang seperti kamu.”
Tapi ketika kutagih janji:
“Subsidi listrik akan kami tambah!”
Mereka jawab:
“Kamu salah dengar. Kami bilang: subsidi akan ditambah... untuk elit tetangga sebelah.”
Sialnya, telingaku terlalu miskin untuk paham permainan diksi
yang tajam di podium tapi tumpul di meja makan.

V

Lihatlah!
APBN itu seperti pacar toksik:
tiap tahun bilang “ini demi kamu,”
tapi tiap bulan justru pacari pengusaha minyak dan tambang.
Mereka bilang: “Kita ini negara maju!”
Tapi jalanku masih becek, dan ojek langganan naik tarif seperti Tuhan naik ke langit ketujuh.

VI

Aku pernah berdoa di warung kopi
dengan mantra: “Ya Tuhan, turunkan harga cabe dan beri diskon untuk hidup.”
Tapi yang turun justru hujan pajak
dan harga hidup naik seperti sinetron jam tujuh—
selalu dramatis, tak masuk akal, dan penuh iklan pemilu.

VII

Subsidi?
Itu bukan untukku,
itu untuk mereka yang bisa menulis proposal 17 halaman
berisi kata-kata manis seperti “berkelanjutan” dan “inklusif”
yang entah artinya apa,
tapi bunyinya seperti mantra pemanggil uang dari langit kementerian.

VIII

Aku menonton berita sambil makan nasi kucing,
Layar berkata: “Subsidi tepat sasaran!”
Tapi aku lihat si pemilik SPBU baru beli kapal layar.
Lalu kubuka dompet,
dan hanya ada foto mantan serta bon belanja minggu lalu
yang mengandung kenangan akan harga minyak goreng sebelum subsidi dilepas seperti ayam kurus dari kandang kapital.

IX

Kadang aku berharap, subsidi itu seperti mantan kekasih—
meski pergi, masih sempat kirim kabar.
Tapi ini?
Ia pergi diam-diam, tanpa pamit, tanpa penjelasan,
dan tiap kutanya,
jawaban yang kuterima hanya:
“Kamu harus lebih mandiri. Kamu bukan anak kecil lagi.”
Tapi kenapa, ketika oligarki nangis, subsidi buru-buru digendong seperti balita jatuh dari stroller kekuasaan?

X

Hei, kalian yang duduk di atas tumpukan pajak rakyat!
Tahukah kalian,
subsidi bagiku bukan kemewahan—
ia adalah hak untuk hidup tidak terlalu sengsara.
Namun kalian menaruhnya di museum sejarah,
dengan papan bertuliskan:
“Dulu, negara pernah peduli. Tapi sekarang, kami sibuk investasi moral pada startup dosa.”


💭 Refleksi Penutup

Puisi ini adalah jeritan jenaka dari rakyat kecil yang terlalu sering diberi nasihat agar “bersyukur”, padahal ia disuruh berdiri di atas karpet licin bernama realita. Sindiran ini menyasar mereka yang menyulap subsidi menjadi komoditas politik, bukan alat kesejahteraan. Melalui ironi dan parodi, puisi ini ingin mengingatkan: bahwa subsidi bukan soal belas kasihan, melainkan soal keadilan. Jika negara benar hadir, maka jangan hanya muncul di spanduk dan pidato, tapi juga di meja makan rakyat yang lapar.

Post a Comment

0Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment (0)