"Di tanah air para janji, suara lebih murah dari sebungkus gorengan — tapi mahal saat didebit dari masa depan."
Di tanah yang dibungkus poster-poster suci,
berdiri panggung kardus demokrasi,
lampu sorotnya? — dari bohlam retak yang mabuk pujian.
Malam ini pesta, kawan,
pesta yang dipoles dari sisa-sisa logika.
Balon janji meletus satu-satu,
warnanya cerah — dalam arti terminal.
Kita bersorak: "Hidup pemimpin baru!"
meski baru hanya dalam angka tanggal lahir.
Di atas karpet merah sisa karung beras,
berjalanlah para pahlawan dadakan,
mereka menjanjikan surga
dengan harga parkir yang dinaikkan diam-diam.
O, betapa gagah orkestra bendera itu,
melambai-lambai seperti tangan tenggelam,
mereka tersenyum —
dengan gigi taring.
Di pinggir panggung,
anak-anak kecil menjilat sisa permen manifesto,
lalu bertengkar siapa paling lapar,
sementara kursi empuk penuh —
oleh punggung-punggung yang tak lagi mengenal duduk bersila.
Teriakan mereka syahdu,
layaknya lagu kebangsaan di warung kopi,
dan kita?
Kita bersulang,
dengan gelas plastik penuh air mata.
"Vote for better future!"
teriak spanduk kusam di gerbang pasar.
Ironi?
Tak apa,
asalkan berbayar.
Yang duduk di singgasana lipat,
tertawa dalam jas murah,
mabuk dalam euforia kredit suara,
sambil membuang janji ke selokan sejarah.
Sementara itu, di trotoar penuh remah pilkada,
ibu-ibu menyapu harapan,
menggulungnya bersama daun kering,
sebelum membuangnya ke tong tak bertuan.
Setelah lampu dipadamkan,
dan poster sobek seperti keyakinan,
mereka berjanji "akan kembali lima tahun lagi"
(bila kita masih cukup lapar untuk percaya).
Rakyat pulang membawa dua hal:
satu, nasi bungkus tanpa sambal;
dua, kertas suara sebagai alas tidur.
Pesta selesai.
Sampahnya tetap tinggal.
Di lorong belakang,
seorang bocah menggambar masa depan
dengan krayon dari bungkusan nasi sisa,
lukisannya?
Sepotong mimpi —
yang sudah dilelang sebelum subuh.
Pesta demokrasi, oh pesta ilusi,
kalian membangun gedung janji,
dari semen sarkasme dan bata sinisme.
Dan ketika angin bertiup —
kita semua tersiram debu utang.
Dalam pesta itu,
ada tawa yang sebenarnya batuk,
ada pelukan yang rasanya seperti borgol,
dan ada pidato,
yang berisi lebih banyak titik-titik kosong
daripada aksara harapan.
Tapi jangan sedih, rakyatku!
Masih ada hadiah hiburan:
Sticker bertulis “Saya Sudah Memilih”,
sebagai bukti bahwa kita pernah bermimpi —
dan ditertawai karenanya.
Kini kota sunyi,
hanya bunyi gagak berkicau di bilik suara yang roboh,
sambil menulis puisi baru di atas sisa-sisa kebebasan:
"Ini negeri para pemilih gigih,
yang dijanjikan jalan tol,
lalu diberi lubang resesi."
Pesta Demokrasi, Sisa Sampahnya
I. Negara Panggung Boneka, Boneka Tanpa Tali Nurani
Selamat datang di panggung boneka,
di mana aktornya tersenyum pakai gigi hasil sumbangan cukong,
dan naskahnya ditulis di meja makan kartel-kartel tua.
Bendera dikibarkan bukan untuk kebangsaan,
tapi untuk menyamarkan aroma darah di balik kursi kekuasaan.
Para kandidat berdiri kaku, wajah distorsi Photoshop,
separuh Tuhan, separuh influencer.
Mereka bicara soal moral,
padahal selangkangannya penuh kontrak gelap.
II. Kotak Suara: Peti Mati Akal Sehat
Kotak suara itu sakral, katanya.
Padahal yang mati di dalamnya adalah integritas,
dan yang bangkit adalah kebohongan berjubah sah.
Lembar suara dicoblos pakai harapan,
lalu digiling mesin perhitungan penuh trik.
Ada pemilih yang datang demi uang rokok.
Ada yang datang karena malu pada RT.
Ada juga yang datang karena masih percaya.
Yang terakhir ini paling kasihan.
III. Debat Calon Iblis: Pertunjukan Kebohongan Kolektif
Debat digelar dengan panggung mewah,
lampu-lampu terang menyilaukan isi kepala.
Mereka bicara tentang visi,
tapi mata mereka hanya melihat kontrak dan tender.
Satu berkata: “Saya lahir dari rakyat.”
Padahal sertifikat lahirnya dicetak di apartemen elit.
Yang lain bilang: “Saya bersih!”
Tapi jejak digitalnya sudah disikat buzzer bayaran.
Debat itu lebih mirip audisi sinetron ketimbang masa depan bangsa.
Dan juri utamanya adalah rating dan polling.
IV. Hari Pencoblosan: Festival Tipu-tipu Nasional
Warga berdandan pagi-pagi,
bawa KTP dan segunung harapan.
TPS penuh antrian dan peluh.
Mereka pikir mereka sedang memilih masa depan.
Padahal yang dipilih adalah versi berbeda dari kekecewaan lama.
Anak muda selfie pakai jari ungu,
unggah di IG story: “Tugas warga negara!”
Lalu kembali rebahan,
membiarkan korupsi bekerja tanpa interupsi.
V. Pesta Pemenang, Tertawa di Atas Kuburan Etika
Yang menang bersorak di podium,
dikelilingi peluk cium, petasan, dan kursi eksekutif.
Ia mengucapkan sumpah dengan bibir mengilat minyak,
disambut tepuk tangan dari investor dan bandit.
Malam itu ia bersulang—
bukan dengan rakyat,
tapi dengan mafia tanah dan pemilik tambang.
Ucapan pertama: “Kami akan bekerja untuk rakyat!”
Ucapan kedua, diam-diam: “Tolong kirim truk berisi ‘ucapan terima kasih’.”
VI. Lima Tahun Menunggu Cemas: Tikus Beranak Pinak
Begitu kursi diduduki,
janji tinggal cat dinding kampanye yang terkelupas.
Regulasi disulap jadi mahar,
izin berubah jadi komoditas.
Sementara rakyat?
Masih antre BLT,
masih bingung isi dompet,
masih percaya pada jingle iklan pemilu.
VII. Para Penonton yang Tak Pernah Kapok
Ironisnya, rakyat tidak pernah absen.
Mereka kecewa, tapi tetap menunggu.
Mereka tahu ini teater bohong,
tapi tetap beli tiket baris depan.
Mereka memaki di warung kopi,
lalu memilih lagi sang pembohong,
karena katanya:
“Yang ini lebih mendingan bohongnya.”
VIII. Tukang Sampah Demokrasi
Di akhir cerita, yang kerja paling keras justru tukang sapu kota.
Ia menyapu bendera robek,
brosur kampanye yang tersisa,
dan sisa nasi bungkus dari relawan kelaparan.
Ia berkata sambil tertawa kecil:
“Janji mereka tinggal remah di selokan.”
Lalu ia lanjut menyapu mimpi yang basi.
IX. Rakyat dan Daur Ulang Kekecewaan
Lima tahun berjalan seperti siklus daur ulang:
Kebohongan → Harapan → Pesta → Sampah → Amnesia → Ulangi Lagi.
Demokrasi berubah jadi jargon musim panen.
Dan kita tetap tanam benih bodoh di ladang harapan.
Pemilih tua mencoblos karena trauma.
Pemilih muda mencoblos karena FOMO.
Yang tak mencoblos pun tetap ditagih pajak.
X. Penutup: Di Balik Kata "Merdeka" Ada Suara yang Hilang
Mereka bilang negeri ini bebas,
tapi suara rakyat sering dipotong jadi angka statistik.
Mereka bilang kita berdaulat,
padahal yang berdaulat adalah rating, polling, dan fee transaksi.
Demokrasi berubah jadi industri
dan rakyat jadi pelanggan yang tak pernah puas
namun terus datang,
karena cuma itu satu-satunya warung yang buka.
🎯 Refleksi Penutup
Puisi ini adalah sindiran keras dan getir untuk perayaan demokrasi yang tampak megah di permukaan, tetapi penuh ironi di belakangnya.
Pesta ini bukan lagi tentang rakyat, melainkan tentang ilusi, janji-janji kosong, dan sampah-sampah politik yang ditinggalkan.
Sindiran ini menyasar pada politisi oportunis, rakyat yang apatis, dan sistem yang lebih mementingkan perayaan dibandingkan pembenahan.
Pesan moralnya: Demokrasi sejati bukan pesta, melainkan kerja keras terus-menerus yang tidak berhenti di bilik suara.
Puisi ini adalah makian yang estetis.
Ia bukan hanya mencibir politisi,
tapi juga menampar rakyat yang malas berpikir.
Sindiran ini menyasar:
-
Para calon pemimpin yang berpolitik pakai katalog akting
-
Rakyat yang terlalu cepat memaafkan kebohongan
-
Sistem yang sudah lama busuk tapi tetap didandani pakai kata “merdeka”
Pesan moralnya?
Jika kita terus ikut pesta tapi membiarkan para badut yang mengatur musik,
jangan heran bila akhirnya kita hanya jadi figuran
di negara yang penuh tata cara tapi kosong makna.
Demokrasi bukan panggung sinetron,
dan rakyat bukan penonton pasif.
Kalau kita terus diam,
maka pesta berikutnya hanya akan menyisakan lebih banyak bangkai janji,
dan lebih sedikit harapan yang bisa diselamatkan.
puisi satir yangluar biasa untuk membuat masyakat sadar ..
ReplyDeleteperkaranya apakah bisa menyadarkan masyarakat ...?
Delete