Sumpah Serapah di Balik Bendera: Janji yang Lupa Menyimak

Jeffrie Gerry
2


 "Antara sumpah yang gagah dan janji yang mudah lelah, terselip seni agung: melupa dengan elegan."

Sumpah Serapah di Balik Bendera: Janji yang Lupa Menyimak

I. Sumpah di Bawah Sorot Lampu
Di altar berdebu,
di tengah mikrofon berbusa,
mereka berdiri tegap — seolah dunia percaya.

Bersumpah atas nama rakyat,
dengan suara yang lebih kaku dari papan nama,
dan mata yang menari mencari kamera.

"Saya bersumpah setia," katanya,
— dalam hati: pada rekening dan agenda.
"Saya akan jujur," katanya,
— dalam hati: semampu ingatan sementara.

II. Janji, oh Janji, Burung-Burung Migran
Janji itu beterbangan,
seperti burung yang lupa arah utara.
Dibacakan penuh wibawa,
dilupakan penuh gaya.

"Rakyat adalah prioritas!" serunya,
lalu memprioritaskan lembaran kertas berseri.
"Transparansi adalah harga mati!" katanya,
sambil memoles dinding kaca dua arah.

III. Malam-malam Lupa
Di malam pesta anggur tua,
janji-janji bergelantungan di langit-langit ballroom.
Mereka menari dengan gaun mahal,
memeluk lupa dengan setia.

Apa itu sumpah?
Sebuah kata sandi masuk pesta?
Apa itu janji?
Tiket premium ke kursi nyaman?

Mereka bersulang untuk ingatan pendek,
merayakan amnesia sebagai seni politik tinggi.

IV. Ironi Panggung Nasional
Tuan lupa sumpahnya,
karena sumpah itu terlalu banyak pasal.
Tuan lupa janjinya,
karena janji itu terlalu cepat diteken tanpa baca.

Ironi itu lucu:
Rakyat menghafal sumpah, pejabat menghapusnya.
Rakyat mencatat janji, pejabat membakarnya.
Rakyat menunggu bukti, pejabat menunggu waktu pensiun.

V. Pidato Berkarat
Tiap lima tahun,
mereka memperbarui lisensi lupa.
Tiap kampanye,
mereka mencetak ulang brosur janji bekas.

"Bersama kita bisa!" katanya,
— Bersama siapa? Bersama lupa?
"Kita berubah untuk lebih baik!" katanya,
— tentu, berubah rekening, berubah posisi, berubah kawan.

VI. Paradoks yang Mulia
Mereka sumpah mati setia,
tapi setia pada siapa?
Mereka berjanji tak korupsi,
tapi definisi korupsi pun digugat dalam seminar setengah jam.

Paradoks suci:
Mengaku mengabdi rakyat,
tapi berkelana dalam labirin kontrak pribadi.
Mengaku melayani negara,
tapi pelayanan diklaim oleh rekening keluarga.

VII. Sebuah Doa Satir
Wahai para dewa ironia,
anugerahkanlah pada mereka ingatan seperti batu karang —
keras, tak bergeming,
tak mudah dihapus pesta atau pelicin tangan.

Atau mungkin,
biarkan kami rakyat,
tertawa saja di tribun,
menghitung berapa kali sumpah dilafazkan,
dan berapa kali lupa menjadi mukjizat.



"Orkestra Sumpah Palsu: Simfoni Bangkai di Balik Mikrofon"


"Di altar kekuasaan, sumpah adalah musik latar. Janji adalah lipstik. Ingatan? Ah, itu cuma lagu pengantar tidur untuk rakyat yang bosan."


I. Orkestra Bangkai Bersumpah
Selamat datang di pertunjukan megah,
Di mana bangkai berbalut jas berkilau,
Mengangkat tangan ke langit,
Bersumpah di atas naskah suci
yang dibaca seperti brosur diskon.

"Demi Tuhan!" serunya,
sambil dalam hati mengedip pada direktur proyek.
"Demi rakyat!" pekiknya,
sambil lidahnya melilit kursi empuk kementerian.

Tepuk tangan bergemuruh,
padahal di bawah podium,
janji-janji sudah dikubur dengan rapi,
bersama mimpi rakyat yang diobral murah.


II. Tarian Patah Sumpah
Oh lihatlah betapa lincahnya mereka,
menari di atas nisan janji-janji sendiri.

Langkah satu: sumpah setia.
Langkah dua: kontrak dinas paripurna.
Langkah tiga: lupa hari esok.

Berseragam dalam jubah suci,
mereka menyalami rakyat dengan tangan kanan,
sementara tangan kiri mencopet saku negara.

Mereka hafal syair sumpah,
seperti hafal lirik lagu dangdut di karaoke pesta jabatan.
Namun lupa,
sumpah bukan dekorasi di pesta pemotongan pita.


III. Opera Lupa-Lupa Ingat
Di atas panggung teater agung,
dipentaskan opera "Lupa" dalam tiga babak:

  • Babak I: "Janji Sebelum Terpilih"
    Dialog penuh air mata, nada mengiba,
    naskah disusun oleh konsultan citra.

  • Babak II: "Janji Setelah Duduk"
    Kalimat mulai mengabur, suara mengecil,
    makna menguap bersama aroma katering rapat.

  • Babak III: "Lupa Total"
    Skrip dibakar,
    rakyat disuruh menulis ulang babad penderitaan sendiri.

Dan encore-nya?
Pesta ulang tahun jabatan ke-1,
dengan kembang api janji basi.


IV. Balada Ingatan Yang Dijual Kiloan
Mereka menjual ingatan,
seperti pedagang pasar mengobral cabai busuk.
Sumpah disobek, janji dikilo,
ditimbang di atas neraca retak.

"Integritas!" katanya,
sambil mengantongi surat tanah yang baru disulap.
"Amanah!" katanya,
sambil menulis memo untuk menghapus jejak.

Integritas jadi lelucon,
amanah jadi meme,
sumpah jadi bekas tisu pesta bir.


V. Simfoni Parodi: Janji Menjadi Barang Antik
Tanyakan pada museum:
Di sana, janji-janji pejabat dipajang,
berdebu, rapuh, usang,
seperti fosil buaya yang mengaku vegetarian.

Sumpah?
Sudah jadi legenda urban,
dibisikkan di warung kopi sebagai cerita pengantar sarkasme.

Anak kecil belajar bahwa janji itu bukan untuk ditepati,
melainkan untuk diperdagangkan,
seperti saham gorengan musim pilkada.


VI. Sumpah Cuma Kata Keramat dalam Kertas Toilet
Sumpah dijadikan mantra sesaat,
seperti spray parfum murahan di kamar kotor.
Diusapkan ke mikrofon,
disebarkan ke televisi,
lalu dibuang ke selokan lupa.

Janji itu elastis:
Hari ini berbentuk janji,
besok dibentuk menjadi dalih,
lusa diremukkan menjadi berita klarifikasi.

Jika ada yang bertanya,
"Kenapa kau ingkar?"
Mereka akan tersenyum,
dan menjawab:
"Ah, manusia kan tempatnya lupa."

Oh betapa bijaknya,
melupa sebagai kesaktian suci.


VII. Catatan Setan di Buku Sumpah
Jika ada makhluk bawah tanah menulis buku,
isinya akan berjudul:
"1000 Cara Bersumpah Tapi Tidak Bertanggung Jawab".

Edisi terbaru mencakup:

  • Teknik tersenyum sambil menekan harga proyek,

  • Seni menghilangkan jejak dalam tiga langkah mudah,

  • Strategi berpura-pura bodoh di sidang etik.

Dan tentu saja,
bab spesial:
"Menghadiri Pelantikan dengan Hati Kosong Tapi Dompet Penuh."


VIII. Refrein Terakhir: Kami Tertawa di Kuburan Sumpahmu
Rakyat menonton dari kejauhan,
menggelar tikar di pemakaman janji-janji.
Mereka makan jagung bakar,
menonton parade sumpah mati.

Ada yang menangis, ada yang mencaci,
tapi kebanyakan kini sudah belajar:
Tertawalah lebih keras daripada mereka bersumpah.
Karena sumpah di dunia ini,
hanya berarti sesaat —
sampai foto selfie di ruang sidang selesai.




"Doa Para Pembohong: Requiem di Atas Puing Janji"

"Di akhir zaman, bukan meteor yang membunuh peradaban ini — tapi sumpah-sumpah busuk yang membusuk di jantung manusia."



I. Reruntuhan di Bawah Bendera Sumpah
Matahari mati di atas gedung parlemen,
cahayanya membusuk di atap janji yang rubuh.

Angin membawa bau bangkai sumpah,
berpencar di lorong-lorong kantor kosong.

Pejabat-pejabat hantu berkeliaran,
menyapu remah-remah kekuasaan,
dengan tangan berlumuran ingkar.

Mereka dulu bersumpah,
sekarang mereka membisikkan dusta
seperti kidung suci.


II. Ritual Pemakaman Janji
Lonceng gereja tidak lagi berdentang,
yang berdengung kini adalah suara amplop dibuka.

Rakyat berdiri di antrean,
membawa karangan bunga dari kertas suara terbakar,
menghantar janji-janji menuju liang kubur.

Seorang imam upahan membacakan liturgi:
"Demi rakyat, demi bangsa, demi keabadian rekening luar negeri."

Semua menunduk,
bukan karena hormat,
tetapi karena malu menjadi saksi.


III. Parade Manekin Berlidah Ular
Mereka berjalan di atas karpet merah darah,
mengacungkan tangan kanan bersumpah,
sementara tangan kiri menulis wasiat dosa.

Wajah mereka dilukis senyum,
tetapi di balik kulit itu tumbuh cakar dan taring.

Dada mereka berdegup bukan untuk kebenaran,
tetapi untuk kontrak proyek dan tender haram.

Di kota-kota mati ini,
poster kampanye berubah menjadi poster buronan,
dengan kata-kata:
"Mencari integritas yang hilang, terakhir terlihat sebelum dilantik."


IV. Hari Penghakiman di Bursa Sumpah
Di pasar gelap,
sumpah dijual per kilogram,
di antara rokok selundupan dan obat kadaluarsa.

Janji nikmat, amanah premium, kejujuran instan:
semua ada,
asal tahu kode rahasia.

Rakyat menawar,
bukan karena ingin percaya,
tetapi karena sudah terlalu lapar untuk membenci.

Dan pedagang sumpah tertawa,
menghitamkan gigi dengan emas curian.


V. Bangkai Malaikat dan Tertawaan Setan
Malaikat-malaikat jatuh dari langit,
bukan karena perang,
tetapi karena jijik melihat nama mereka dipakai bersumpah.

Setan-setan menari di istana,
memainkan harpa yang disenar dari janji putus.

Satu demi satu, para pembohong
menulis autobiografi berjudul:
"Aku Pernah Bermimpi, Lalu Aku Menjualnya".

Dan dunia pun membusuk,
dengan irama sumpah yang cacat.


VI. Monumen Para Pengkhianat
Di tengah alun-alun kota mati,
sebuah patung raksasa berdiri:
wajah setengah manusia, setengah buaya,
mengenakan mahkota berbentuk tangan menyilang.

Di plakatnya tertulis:
"Kami bersumpah demi kalian, lalu kami menelan kalian."

Bunga-bunga kering berserakan,
air mata sudah lama menguap,
hanya tawa pahit yang tersisa,
bergaung tanpa henti.


VII. Kesunyian Setelah Badai Dusta
Kini kota ini diam.
Televisi membeku di siaran pelantikan abadi.
Radio memutar lagu nasionalisme busuk tanpa lirik.

Anak-anak lahir tanpa pernah tahu
apa itu arti kata "janji".

Sekolah mengajarkan:
"Integritas itu legenda.
Amanah itu mitos.
Sumpah itu lelucon kuno."

Dan gereja, masjid, kuil,
semua kosong,
hanya berisi gema-gema sumpah yang dulu
dilecehkan tanpa malu.


VIII. Requiem Terakhir: Lagu Kebangsaan Para Pemuja Kepalsuan
Mari bernyanyi:
Dalam nada minor,
dengan suara sumbang,
menghormati sumpah-sumpah yang telah membunuh negeri ini.

Reff:
"Kami bersumpah demi Tuhan, demi rakyat, demi bangsa,
lalu kami lupa,
lalu kami jual,
lalu kami pesta."_

Bendera dikibarkan,
bukan setengah tiang,
tetapi dikubur bersama tubuh peradaban.


Refleksi Penutup:

Puisi ini memotret dengan sarkasme tajam betapa sumpah jabatan sering kali hanya menjadi formalitas kosong — janji-janji mulia itu gampang sekali dilupakan setelah lampu sorot padam. Sindiran ini menyasar siapa saja yang menjadikan sumpah dan janji sebagai kosmetik politik belaka, tanpa benar-benar menghayati maknanya. Pesan moralnya sederhana namun pedih: janji yang diucapkan di hadapan rakyat bukanlah mantra magis yang hilang begitu saja — ia adalah utang yang terus ditagih dalam diam.

Puisi ini adalah tamparan bagi siapa saja yang mempermainkan sumpah jabatan dan memperdagangkan janji kepada rakyat. Sindiran ini diarahkan pada para pemburu kekuasaan yang menjadikan sumpah sebagai kosmetik publik semata. Pesan moralnya: Sumpah dan janji bukan dekorasi karpet merah — ia adalah tombak yang akan menikammu sendiri saat rakyat bangkit mengingat apa yang kau lupakan.

Puisi ini adalah gugatan terhadap kejahatan sumpah yang dipelacurkan — saat janji suci dijadikan alat tawar-menawar kekuasaan, dunia ini perlahan membusuk.
Sindiran ini menampar setiap pengkhianat integritas, yang mengira rakyat akan lupa.
Pesan moralnya:
Sumpah bukan sekadar kata-kata manis di mikrofon.
Ia adalah pisau bermata dua:
jika kau dustai,
maka pisau itu akan mengiris lehermu,
di tengah sorak-sorai dunia yang hancur karena kebohonganmu sendiri.


Post a Comment

2Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment