Bicara Dulu Baru Berfikir, Seharusnya Berfikir Dulu Baru Bicara

Jeffrie Gerry
1


 Pengantar Pendek

“Lidah itu ringan, tapi bisa lebih cepat dari otak. Dan kadang, lebih tajam dari logika.”

Dalam dunia di mana suara sering lebih didengar daripada makna, puisi ini ingin mengajak pembaca berhenti sejenak: untuk merasa malu, tersenyum getir, lalu merenung... sebelum bicara.


Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Judul: Bicara Dulu Baru Berpikir (Harusnya Sebaliknya)


Monolog Satir: 1000 Kata Irama Lidah dan Akal yang Terbalik

Aku ini manusia biasa,
Yang bangga memegang mikrofon sebelum membaca naskah.
Yang naik podium demi sorotan,
Bukan demi kebenaran.

Aku adalah juru bicara kejang lidah,
Pakar retorika tanpa fakta,
Pembicara handal di panggung dunia maya,
Tapi gagap kalau ditanya: “Sudah kamu pikirkan?”

Jangan tanya logika,
Karena aku sudah lama menjadikannya staf cadangan.
Di medan debat digital,
Yang penting cepat, bukan tepat.

Kita ini bangsa spontan,
Mikrofon di tangan kanan,
Akal sehat di belakang lemari,
Tertimbun foto lama dan ijazah palsu yang belum dibakar.

“Bicara dulu, baru pikir belakangan!”
Begitu moto turun-temurun dari grup WhatsApp keluarga.
Tak perlu validasi,
Asal suaranya keras dan punya frame warna merah.

Aku adalah netizen dengan gelar L.C.—Lulusan Cepat,
Cepat marah, cepat komen, cepat salah.
Fakta hanya ornamen,
Yang penting aku paling duluan bicara.

Sebab di era sekarang,
Yang lambat berpikir,
Akan didahului oleh mereka yang cepat menyebar hoaks.

Siapa butuh akal,
Kalau punya rasa percaya diri 300 persen?
Bukankah itu yang diajarkan influencer motivasi:
“Ngomong aja dulu, mikir nanti belakangan!”

Lihatlah para tokoh,
Yang lidahnya lincah, otaknya libur.
Berkoar soal moral sambil melangkah ke lobi hotel bintang lima.
Berteriak soal rakyat sambil menghitung jatah makan malam.

Wahai para penonton zaman,
Di negeri ini, kata-kata adalah komoditas,
Kebenaran cuma aksesori,
Dan berpikir jadi penghambat rating.

“Jangan berpikir terlalu lama, nanti kehilangan momentum.”
Begitu kata penasihat konten.
Karena di algoritma,
Yang lambat merenung, tertelan arus scroll.

Aku adalah cerminan kalian,
Yang cepat menuduh,
Cepat menyimpulkan,
Cepat merasa benar.

Sialnya, aku juga cepat dilupakan.
Karena ada suara baru, lebih keras,
Lebih kasar,
Lebih bebas dari beban berpikir.

Oh, indahnya hidup dalam paradoks:
Kita mendambakan pemimpin yang bijak,
Tapi memilih yang paling banyak bicara,
Tanpa sempat kita selidiki isi kepalanya.

Kita mencaci kebodohan massal,
Tapi ikut share berita tanpa cek ulang.
Kita tertawa atas komentar dungu,
Lalu mengucapkannya ulang,
Karena… ya lucu aja!

Kita ini generasi capslock,
Teriakan lebih penting daripada makna.
Kalimat panjang dianggap membosankan,
Lebih baik satu baris sarkas:
“Yaelah, pikir dikit napa?”

Aku adalah produk zaman panik,
Zaman yang membenci kesunyian berpikir.
Sebab diam dianggap kalah,
Merenung disangka bodoh,
Dan mengaku belum tahu… adalah dosa besar.

Lihat debat di televisi,
Siapa yang menang?
Bukan yang argumennya kuat,
Tapi yang suaranya tak memberi ruang napas lawan bicara.

Lihat thread panjang di Twitter,
Yang viral bukan yang masuk akal,
Tapi yang membuat orang marah sebelum selesai membaca.

Di negeri ini,
Kalimat pertama bisa menentukan segalanya.
Mau benar atau tidak,
Tak penting.
Yang penting trending!

Aku belajar dari para selebritas digital:
“Bangun opini dulu, nanti cari datanya nyusul.”
Karena berpikir itu memakan waktu,
Dan waktu adalah musuh viralitas.

Aku bicara tentang apapun,
Asal tidak terlalu teknis.
Kalau ditanya, jawabannya gampang:
“Itu cuma opini pribadi kok, jangan baper.”

Lalu kalau diserang,
Aku akan bilang:
“Kita bebas berbicara kan? Demokrasi bung!”

Padahal diam-diam,
Aku sedang membunuh logika orang lain,
Dengan serangan prematur.

Dan yang lebih lucu:
Setelah semua ocehan selesai,
Baru aku buka Google…
Baru aku sadar:
Oh… ternyata aku salah.

Tapi terlambat,
Kata-kataku sudah menjadi batu,
Menimpa kepala orang-orang yang pernah mempercayai aku.

Wahai generasi klik,
Sudikah kalian berhenti sejenak,
Sebelum bicara soal politik,
Sebelum menyimpulkan soal sains,
Sebelum menuduh lewat layar?

Maukah kalian kembali ke dasar:
Bahwa berpikir itu bukan kelemahan,
Melainkan seni yang agung?

Aku pun mulai muak dengan diriku sendiri,
Yang terlalu sering jadi pahlawan komen,
Tapi pengecut ketika diminta pertanggungjawaban.

Hari ini, aku ingin mencoba hal baru.
Sebelum aku bicara,
Aku akan menahan lidahku barang lima detik saja.

Sebab siapa tahu,
Dalam lima detik itu,
Aku menyelamatkan satu nyawa dari fitnah,
Satu keluarga dari perpecahan,
Dan satu bangsa dari kegaduhan.


Pesan Positif:
Puisi ini adalah cermin untuk semua,
Agar kita kembali menempatkan berpikir di depan bicara.
Agar kita sadar,
Bahwa kata-kata tak bisa ditarik,
Dan pikiran yang matang… bisa menyelamatkan dunia.

Untuk Siapa Puisi Ini?
Untuk para komentator spontan,
Para pemimpin yang lebih banyak orasi daripada refleksi,
Para guru yang terlalu cepat menilai murid,
Dan kita semua… yang pernah bicara dulu baru berpikir.


Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):
“Puisi ini bukan untuk menuding,
Tapi untuk menampar dengan lembut.
Sebab kadang, satu kalimat yang tak dipikirkan,
Bisa jadi peluru tak terlihat.”

Bicara Dulu Baru Berpikir (Harusnya Sebaliknya) – Versi Buas & Liar

Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Pengantar Pendek:

“Berpikir itu repot. Makanya saya lebih suka asal njeplak. Lebih cepat, lebih praktis, lebih viral.”

Mari kita rayakan absurditas zaman ini—di mana lidah dipakai sebagai senjata, dan otak hanya untuk formalitas.


Puisi Monolog Satir — 1000 Kata
"Festival Omong Kosong Nasional"

Selamat datang di negeri terbalik,
di mana mic lebih sakral dari otak.
Di mana kalimat pertama menentukan nasib bangsa,
meski kalimat kedua sudah mulai ngawur.

Aku orator konyol,
penyembah keyboard,
raja thread absurd,
dan penyair dadakan grup alumni yang nggak pernah lulus.

"Pokoknya gini!" seruku.
Alasannya? Tidak ada.
Tapi suara saya lantang,
dan itu cukup untuk jadi dasar kebijakan.

Siapa bilang harus pakai logika?
Kita hidup di era verbal supremasi
Bicara adalah kekuasaan,
Berpikir adalah hambatan.

Lidahku 4G+, otakku sinyal E.
Tapi tak masalah,
selama ada stiker "Ngomong Aja Dulu"
dan filter wajah bijak pakai quotes palsu Einstein.

Lihat saya berdiri di depan kalian:
Muka tegas, dada busung,
isi kepala kosong, tapi penuh keyakinan!

Saya ini produk unggulan
dari sistem edukasi yang lebih mementingkan hafalan slogan
daripada perenungan pelan.

“Pikir dulu? Nanti gak sempat viral, dong.”
Begitu kata dukun algoritma.
Dan saya manut.
Karena berpikir membuat saya kalah cepat dari orang bego yang duluan live.

Saya dulu pernah mikir.
Cuma lima detik.
Langsung pusing.
Jadi saya berhenti.

Lebih enak ngomong.
Apalagi kalau temanya agama, politik, atau ibu-ibu arisan.
Ngawur pun tetap dianggap 'pedas',
asal pake embel-embel "Hanya Opini, Jangan Tersinggung."

Saya lulusan kampus Universitas Keburu Bicara,
jurusan Ngomongin Orang 101
dengan tesis berjudul:
“Menyebar Omong Kosong Demi Cuan dan Cuan Lagi.”

Kami para alumni,
berbekal suara cempreng tapi yakin,
menebar statement seperti kembang api —
indah di awal, gosong di akhir.

Dan kami tak sendiri.
Lihat komentator politik sore hari,
yang pagi harinya influencer skincare,
dan malamnya buka kelas berpikir kritis—
dengan slide presentasi hasil copas Wikipedia.

Kami semua adalah…
Pelatih Narasi Instan
yang suka melatih orang lain untuk “Berani Ngomong Walau Tak Tahu.”

Kami ini pahlawan konten!
Logika? Itu musuh utama!
Data? Itu hanya penghambat engagement!

Karena di negeri ini,
yang paling viral bukan yang paling benar,
tapi yang paling lucu salahnya.
Salah yang penting konsisten!

Kami bangga,
karena bisa membuat 7 juta orang percaya bumi itu gepeng
dalam satu video berdurasi 23 detik,
dengan backsound dangdut dan caption:
“Sudah Saatnya Kita Bangkit dari Pembodohan.”

Lalu ketika ditanya,
“Sumbernya dari mana?”
Kami jawab sambil senyum sinis:
“Pakai logika lah, masa perlu data.”

Oh, betapa indahnya era ini:
Di mana salah kaprah jadi karier,
asal delivery-nya mantap dan lighting cukup.

Berpikir terlalu dalam dianggap toxic.
Diam dianggap sombong.
Merenung sebelum bicara?
Itu dianggap sinyal kurang percaya diri.

Sekarang dengarkan pengakuanku:
Saya pernah jadi korban berpikir.
Waktu itu saya sempat riset sebelum buka mulut.
Akibatnya? Saya dianggap gak niat ngomong!

Mereka bilang,
“Ngomong lo kelamaan mikir. Gak asik. Gak relate. Gak rame.”

Lalu saya sadar.
Untuk jadi disukai, saya harus spontan.
Meskipun spontanitas itu menabrak etika,
menghancurkan akal sehat,
dan menjadikan saya idola para dungu.

Aku pun kini bangga.
Dengan kesalahan yang aku ucapkan tiap hari.
Dengan kebodohan yang aku sajikan di pagi hari.
Dengan analisa receh dan jargon motivasi setengah matang.

Aku seperti influencer sukses:
Menggugah dengan omong kosong,
menggerakkan massa tanpa arah,
lalu kabur saat terjadi kekacauan.

“Bicara Dulu Baru Berpikir?”
Tentu saja!
Berpikir itu nanti…
Kalau udah pensiun…
Kalau udah sepi job…
Atau kalau sudah diadili.

Tapi… kadang… malam hari…
Saat semua suara di kepalaku padam,
Dan aku sendirian menatap langit-langit kamar,
Aku bertanya pelan:

“Apa gunanya semua ocehanku,
kalau ternyata aku cuma bikin orang makin bodoh?”

Apa arti menjadi viral,
kalau akhirnya aku kehilangan makna?
Apa gunanya bicara tanpa isi,
selain membuktikan betapa hebatnya aku… dalam membohongi diriku sendiri?

Lalu untuk pertama kalinya,
aku duduk, diam,
dan membiarkan kepalaku bekerja.
Pelan.
Sepi.
Menyesal.


Pesan Positif:
Puisi ini bukan hanya satire,
tapi juga undangan untuk diam.
Karena diam sebelum bicara,
adalah bentuk tertinggi dari kasih sayang pada dunia.

Diam untuk merenung,
berpikir sebelum menyakiti,
dan memahami sebelum menghakimi.


Untuk Siapa Puisi Ini?
Untuk para pemilik lidah tanpa rem,
pemimpin opini tapi miskin akal,
dan kita semua… yang pernah jadi komentator tanpa kepala.


Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):
"Kadang dunia bukan butuh kata-kata baru,
tapi jeda yang cukup panjang untuk berpikir sebelum menjawab."

Tags

Post a Comment

1Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment