Budaya Saring Sebelum Sharing

Jeffrie Gerry
0

 


Budaya Saring Sebelum Sharing

Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)

“Kebenaran belum tentu viral. Yang viral belum tentu benar. Tapi yang paling cepat, sering dipercaya.”


Doa Digital dari Netizen Bermoral Tipis

Tuhan yang maha cepat di-repost,
Ampunilah jempol kami yang terlalu rajin menuduh,
Terlalu cekatan mengirim hoaks saat sinyal penuh,
Dan terlalu percaya pada font merah dan huruf kapital besar-besar.

Kami ini umat panik,
Yang bila membaca judul, langsung bertindak,
Tanpa klik, tanpa pikir, langsung sebar.
Karena menurut kami, berpikir itu berat,
Dan berbagi itu mulia,
Meski yang dibagi adalah dusta berjubah data.

Ya Tuhan,
Berikanlah kami kuota yang tidak hanya kencang,
Tapi juga waras,
Berikanlah kami sinyal yang tidak hanya penuh,
Tapi juga penuh tanggung jawab.

Ajarkan kami cara membaca sampai titik terakhir,
Bukan cuma sampai tanda seru!
Ajarkan kami menyaring—bukan hanya minyak jelantah,
Tapi juga kabar, gambar, dan narasi penuh tanya.

Kami ini umat percaya,
Percaya pada kalimat "sebarkan agar semua tahu",
Meski tak tahu siapa yang menulisnya.
Kami ini hamba hasrat,
Hasrat menjadi yang pertama menyebar,
Biar dikira peduli, padahal sekadar cari validasi.

Kami ini umat berbagi,
Tapi bukan berbagi kasih,
Bukan berbagi ilmu,
Tapi berbagi teror,
Dengan label "Wajib disebar, demi keselamatan bersama!"


Paradoks Para Pencerah Palsu

Lihatlah,
Sang penyebar kabar mengatasnamakan kepedulian,
Tapi tak peduli pada akibatnya.
Mereka bilang ini demi umat,
Padahal yang dikorbankan: umat yang waras.

Mereka bicara konspirasi dalam grup keluarga,
Dengan riset dari akun abal-abal,
Yang foto profilnya gambar bendera terbalik,
Dan bio-nya penuh huruf kapital:
"AKU TIDAK TAKUT!!!"

Ironis bukan?
Mereka takut vaksin,
Tapi tidak takut menyebar fitnah.
Takut chip dalam suntikan,
Tapi tidak takut chip dalam algoritma.

Mereka lebih percaya video dengan musik dramatis,
Daripada jurnal dengan kata sulit.
Lebih percaya tangis aktor dadakan,
Daripada penjelasan ilmuwan yang terlalu datar.

Oh, betapa lucunya peradaban kita,
Ketika kebohongan dirangkai rapi dalam Canva,
Dan dibumbui stiker “WAJIB BACA!”
Maka jadilah itu sabda.


Parodi Para Nabi Forward-an

Mereka ini nabi zaman layar,
Yang berkhotbah lewat broadcast
Dengan sumber: “Katanya”.
Dan matanya menyala setiap dapat kabar buruk,
Karena buruk itu lebih seru dibagikan.

“Sudah baca ini?!” katanya.
Padahal baru baca judul.
“Ini penting untuk diketahui!”
Padahal baru diedit semalam.
“Kenapa media diam?”
Padahal dia yang tak tahu cara mencari.

Mereka membuat grup WhatsApp
Bukan untuk silaturahmi,
Tapi untuk lomba siapa paling cepat sebar kiamat.
Semakin gelap kabarnya,
Semakin terang notifikasinya.

Dan jika ditanya,
“Mengapa kamu sebar tanpa cek?”
Jawabnya ringan:
“Namanya juga berbagi, siapa tahu bermanfaat.”
Ah, betapa mulia nafsu yang dibalut kepedulian palsu.


Sarkasme dari Surga Saring

Bayangkan jika Tuhan menggunakan sistem saring seperti kita:
“Malaikat, tolong verifikasi amal dia, tapi cukup lihat status WA-nya.”
Atau:
“Surga? Tergantung seberapa banyak dia share kutipan palsu dari ustaz editan.”

Apa jadinya jika surga itu seperti grup keluarga?
Yang isinya cuma kabar hoaks, motivasi basi, dan perdebatan politik tanpa logika.
Mungkin kita semua akan di-left oleh para malaikat.

Tapi untunglah,
Surga masih dikelola oleh Tuhan,
Bukan oleh admin grup sebelah.


Refleksi di Tengah Tanda Seru

Wahai para penyebar kebajikan kilat,
Tak semua yang membuatmu marah itu layak dibagikan.
Tak semua yang membuatmu takut itu layak disebarkan.
Dan tidak semua yang viral, pantas untuk dipercaya.

Saring itu bukan berarti lambat,
Tapi berarti menghormati kebenaran.
Sharing itu bukan berarti sok tahu,
Tapi berarti bertanggung jawab.

Karena kebenaran yang tertunda
Masih lebih baik
Daripada kebohongan yang terburu-buru.


Pesan Positif dan Untuk Siapa Puisi Ini

Puisi ini kutujukan kepada:
Semua jempol yang pernah gemetar ingin jadi yang tercepat,
Semua hati yang ingin terlihat paling peduli,
Semua kepala yang pernah percaya hanya karena ramai.

Puisi ini adalah cermin,
Bukan cermin wajah, tapi cermin digital,
Yang memantulkan bukan rupa, tapi sikap.

Bagi para guru, murid, netizen, influencer, dosen, hingga tukang kopi pinggir jalan,
Yang punya HP dan punya rasa ingin tahu,
Tapi kadang lupa:
Ingin tahu bukan berarti harus langsung percaya.


Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra)

“Puisi ini bukan untuk menyalahkan, tapi untuk menyadarkan. Kita hidup di zaman ketika informasi bisa menyelamatkan atau menghancurkan, hanya karena satu klik. Maka sebelum kau sentuh tombol ‘kirim’, sentuh dulu akal dan nurani. Sebab, kebaikan itu bukan siapa yang paling cepat menyebar, tapi siapa yang paling bijak menjaga.”


#SaringSebelumSharing
#PuisiDigital
#SatirNetizenBijak
#KaryaJeffrieGerryJapra

Post a Comment

0Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment (0)