Doa untuk Moral yang Kehilangan Arah

Jeffrie Gerry
0

 


Pengantar Pendek:

“Di zaman ini, kompas moral tak lagi menunjuk ke utara, tapi ke trending topic.”
Mari kita berdoa… bukan hanya dengan tangan, tapi dengan pikiran yang tak ikut terseret algoritma.


Doa untuk Moral yang Kehilangan Arah

Karya pujangga digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Ya Tuhan, Sang Pencipta Narasi dan Like,
ampunilah kami yang lebih rajin membaca caption
daripada Kitab Suci.
Yang lebih hafal nama seleb selingkuh
daripada nama-nama nabi.

Kami, generasi yang menunduk bukan untuk khusyuk
tapi untuk scroll,
yang berdoa bukan di tempat suci
tapi di kolom komentar selebgram yang lagi sensi.

Kami bingung, Tuhan.
Moral kami hilang bukan karena dicuri,
tapi karena kami sukarela meletakkannya di keranjang promo.
Diskon akhlak 70%,
beli satu empati, gratis dua fitnah.


Tuhan,
di hari Minggu kami ke gereja,
tapi di hari Senin sampai Sabtu
kami gereja-in orang lain lewat gosip.
Di hari Jumat kami sujud,
tapi habis itu kami sujud pada gaji—
meski dari korupsi.

Kami mengutuk kejahatan di televisi,
lalu melakukannya diam-diam di ATM lobby.
Kami kutuk dosa besar,
tapi senyum-senyum di pesta kecil dosa ringan.


Tuhan yang Maha Sabar (tapi kami sering coba kesabaran-Mu),
berikan kami GPS moral,
karena peta akhlak sudah expired.
Kami terlalu sering update status,
tapi lupa update hati.
Terlalu sibuk backup data,
tapi tak pernah backup nurani.

Kami takut kehilangan followers,
tapi tak takut kehilangan kejujuran.
Kami lebih sedih kehilangan charger
daripada kehilangan harga diri.


Ya Tuhan,
sekarang semua orang ingin viral,
tak peduli apakah itu karena kebodohan atau kebajikan.
Yang penting FYP,
bukan FYP: “Find Your Principles.”

Kami ingin kaya tanpa kerja,
terkenal tanpa karya,
dipercaya tanpa karakter,
berdakwah sambil endorse produk skincare.

Kami terlalu religius di kolom bio,
tapi lupa praktik di dunia nyata.
Kami rajin share ayat,
tapi malas jalan sesuai ayat.


Ya Tuhan,
izinkan kami tertawa sejenak,
karena kami bahkan tak tahu
apakah kami sedang bersyukur,
atau hanya lagi nge-tweet.

Kami suka bilang “semua sudah takdir,”
padahal itu hanya pembelaan
karena malas berpikir.
Kami sebut musibah sebagai ujian,
tapi saat kena razia,
itu katanya ‘kriminalisasi’.


Tuhan yang Maha Komprehensif,
kami adalah generasi yang doanya pendek,
tapi wishlist-nya panjang.
Yang ingin surga,
tapi masih malas antri.
Yang ingin damai,
tapi ikut nyinyir di komentar debat capres.

Kami adalah pemeluk agama,
tapi bukan pemeluk nilai.
Kami rajin ibadah formal,
tapi malas ibadah sosial.


Tuhan,
hari ini anak-anak tak kenal kisah nabi,
tapi hafal biodata idol K-Pop dari A sampai Z.
Guru dihina,
influencer dipuja.
Ilmu dilewati,
clickbait dicari.

Kami belajar dari konten,
bukan dari kontemplasi.
Kami belajar dari prank,
bukan dari pertobatan.
Kami menyembah layar,
bukan menyerap cahaya.


Tuhan,
kalau moral kami ini manusia,
maka ia kini lagi ngemis di lampu merah.
Dipinggirkan oleh kemewahan,
dan dicueki oleh pikiran.
Ia dibungkus kardus berisi kata-kata indah,
tapi isinya hanya amplop kosong.


Tuhan,
beri kami cermin yang bukan dari kaca,
tapi dari jiwa.
Agar kami sadar,
bahwa yang rusak bukan dunia,
tapi cara kami memaknai dunia.

Kami ingin kembali,
tapi tak tahu jalannya—
karena Maps hanya tahu alamat rumah,
bukan alamat hati.

Kami ingin tobat,
tapi tertunda karena sinyal lemah.
Kami ingin jujur,
tapi kalah oleh algoritma pengakuan sosial.


Tuhan,
ini bukan doa dari orang suci,
tapi dari netizen pencari diskon akhirat.
Kami memang masih banyak dosa,
tapi kami ingin jadi lebih baik—
meski sambil pelan-pelan.

Beri kami kekuatan,
untuk mematikan notifikasi,
dan menyalakan nurani.
Beri kami keberanian,
untuk lebih peduli pada makna,
daripada pada views dan likes.


Puisi ini ditujukan untuk:
Semua yang masih merasa punya hati, meski terkikis zaman.
Untuk netizen yang letih jadi sarkas,
tapi rindu jadi manusia yang waras.


Pesan Positif dari Puisi Ini:
Moral tidak hilang, hanya tertidur. Kita hanya perlu membangunkannya dengan refleksi, bukan reaksi. Dengan tindakan kecil, bukan klaim besar. Dan kadang, doa paling tulus adalah kesadaran bahwa kita belum tentu benar.


Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):
"Puisi ini bukan untuk menertawakan dosa orang lain, tapi untuk mengajak diri sendiri bercermin sambil senyum getir. Karena kadang, kesadaran lahir dari tawa yang menohok."

Post a Comment

0Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment (0)