Satire Toleransi yang Sekadar Caption

Jeffrie Gerry
0

 


Satire Toleransi yang Sekadar Caption

Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Pengantar Pendek:
Toleransi kini tak butuh hati, cukup emoji dan filter pelangi. Katanya damai, tapi jari-jarinya saling menuding.


Monolog Satir: Doa Toleransi Seribu Kata tapi Tak Sampai ke Telinga

(Dalam nada lembut dan suci, seperti membaca doa di siaran langsung yang disponsori...)

Ya Tuhan
Tuhan segala agama, denominasi, aliran, dan algoritma
Ampunilah kami yang lebih rajin mengetik "toleransi"
Daripada mempraktikkannya di parkiran Gereja atau kolom komentar

Kami bersujud... di hadapan kamera
Membaca kitab... dari kutipan selebgram
Menyebut nama-Mu... dalam story yang kami sponsori
Karena Tuhan kini viral, dan yang viral itu suci,
Selama tak menyenggol pengiklan

Kami berdoa, bukan karena lapar akan damai
Tapi karena sedang lapar views
Kami berseru: “Semua saudara!”
Kecuali saat rebutan tanah wakaf atau warisan tweet 2007

Kami memposting pelukan—satu Hindu, Satu konghucu,satu Buddha, satu Kristen, satu Muslim
Tapi cuma saat Hari Toleransi Internasional
Besoknya kami unfollow karena beda pendapat soal halal-vegannya es krim

Ampuni kami, wahai Tuhan yang trendi
Yang kami sebut saat konferensi pers
Dan kami lupakan saat rapat internal memutuskan
Siapa yang tak boleh naik panggung
Karena jilbabnya kurang estetis
Atau salibnya terlalu mencolok di kamera wide shot

Oh Tuhan dari semua umat
Maafkan kami yang menyumbang ke panti asuhan lintas iman
Lalu memotretnya dari 3 angle
Karena niat baik butuh pencahayaan yang tepat
Untuk menyentuh hati sponsor


Ironi Toleransi (Babak Dua):
Kami bilang "berbeda itu indah"
Tapi kalau beda terlalu keras, kami report massal

Kami pakai baju adat semua provinsi
Tapi ketika tetangga berdoa pakai bahasa Ibrani
Kami panggil satpam—katanya mencurigakan

Kami tepuk tangan untuk pluralisme
Selama acaranya ada snack, dan tak lewat jam maghrib
Kami menulis puisi tentang pelangi
Tapi kaget saat tahu pelangi juga bisa jadi bendera

Kami foto bareng semua pemuka agama
Tapi diskusi sebenarnya? Tak sempat, harus Zoom meeting
Dengan klien yang alergi simbol keyakinan


Parodi Praktik Toleransi:
Toleransi kini kami pelajari dari iklan sabun
Suci itu putih, harum, dan tak mengandung SARA
Kami diajar bahwa keberagaman bisa dijual
Dalam bentuk paket bundling:
“Paket Damai—Gratis E-book Doa 5 Agama dan Sertifikat Kesalehan Digital”

Kami kenalkan anak pada beda agama lewat kartun
Tapi kalau anak main ke gereja, panik
Langsung panggil ustaz, minta ruqyah
Karena "toleran itu penting, tapi jangan sejauh itu"

Kami puji kampus yang ada rumah ibadah semua agama
Tapi tak terima kalau anak kost pacaran beda suku
Katanya nanti cucunya bingung panggil kakek “opa” atau “abah”


Paradoks Doa Kami (Babak Empat):
Kami ingin dunia damai
Tapi jualan kami laris kalau ada konflik
Kami doakan perdamaian
Sambil endorse t-shirt bertuliskan “Kita Pasti Menang!”
(Tentu saja, “kita” merujuk ke kelompok kami saja)

Kami bikin festival lintas iman
Tapi stage utamanya tetap agama mayoritas
Yang lain? Dapat slot pagi, saat sound system belum on

Kami undang perwakilan semua agama ke seminar
Lalu tanya, “Bagaimana Anda bisa tetap minoritas dengan bahagia?”
Karena toleransi, katanya, adalah saat mayoritas mengizinkan yang lain untuk tersenyum
Setidaknya saat difoto


Sarkasme yang Tidak Kami Sadari:
Kami pakai hashtag #KitaBersaudara
Sambil menyisipkan kalimat:
“...asal tidak menyebarkan ajaran sesat ya!”

Kami bilang “toleransi itu penting”
Tapi juga penting untuk menang debat
Karena di balik keyboard, Tuhan kami paling benar
Dan jari kami adalah pasukan penegak moral digital

Kami doakan yang berbeda agar cepat “kembali ke jalan yang benar”
Karena cinta, katanya, adalah menyelamatkan yang tersesat
Bukan membiarkan mereka tenang dalam keyakinannya


Refleksi: Doa yang Tak Jadi Viral

Tuhan,
Mungkin doa kami terlalu panjang untuk TikTok
Terlalu lirih untuk Instagram Reel
Terlalu jujur untuk press release

Tapi jika Kau dengar,
Dengarkanlah satu kalimat yang belum sempat kami rekam:
“Kami ingin belajar mencintai, bukan mencitrakan kasih.”

Ampuni kami yang terlalu sering menyebut toleransi
Tapi lupa menyimak suara tetangga yang berbeda

Bimbing kami, agar tak sekadar tahu makna plural
Tapi benar-benar hadir saat perbedaan minta dipeluk,
Bukan hanya diposting


Pesan Positif:
Puisi ini bukan untuk menyalahkan siapa-siapa
Tapi untuk mengajak kita menoleh ke dalam
Apakah kita benar-benar menghayati toleransi
Atau sekadar menghafalnya untuk caption?

Toleransi bukan alat branding
Bukan syarat lomba antar sekolah
Ia adalah keberanian mencintai tanpa harus merasa lebih benar
Dan itu... tak selalu bisa dijelaskan lewat bio IG


Kepada Siapa Puisi Ini Diberikan?
Untuk kita semua:
Yang pernah menyebut “toleransi”
Tapi lupa mengeja “empati”


Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):
Toleransi itu bukan tren musiman atau program CSR rohani.
Ini soal kita, yang harus belajar mendengar tanpa mempersiapkan argumen.

Jika kamu membaca ini dengan dada yang geli tapi hati sedikit nyeri,
Berarti puisinya sudah bekerja.

Post a Comment

0Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment (0)