Pendidikan Gratis? Tanda Bintang Besar

Jeffrie Gerry
0


 Pengantar:

“Pendidikan gratis itu nyata, syarat dan ketentuannya berlaku—dan berlaku sangat ketat, hingga kita nyaris tak bisa belajar.”

Puisi Satir Monolog
“Pendidikan Gratis? Tanda Bintang Besar”
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Ya Tuhan, izinkan aku belajar,
di negeri yang katanya semua gratis,
asal aku rela menandatangani kontrak dengan tinta transparan,
yang tiap hurufnya dibaca hanya saat ijazah dipertanyakan.

Katanya: “Pendidikan itu hak semua warga negara!”
– kecuali bila kau tinggal di gang sempit, atau otakmu tak cukup ‘strategis’.
Katanya: “Sekolah itu gratis!”
– kecuali seragamnya, bukunya, ekskulnya, fotokopi LKS-nya,
dan uang kencleng sakti tiap Jumat pagi.

Ya Tuhan,
berikanlah aku otak seperti brosur universitas swasta:
penuh janji manis,
tapi tak pernah dihubungi kembali setelah daftar.

Aku ingin pintar, sungguh.
Tapi kata Pak Guru, “cerdas itu pilihan politik.”
Karena kelas kami cuma punya dua kipas:
satu untuk kepala sekolah,
dan satu lagi—yah, kadang-kadang untuk kucing liar yang nyasar.

Ironi #1: Gedung Berpilar, Gizi Bertikar
Di ruang kelas nan megah,
kami duduk bersila karena kursinya belum lelang.
WC-nya pakai sensor,
sensor bau yang membuat siswa belajar menahan tak hanya kantuk…
tapi juga krisis identitas.

Di dinding tertulis besar:
“Pendidikan Membuka Masa Depan.”
Sayangnya, masa depannya sering salah alamat,
tersesat di meja birokrasi tempat formulir fotokopian jadi kitab suci.

Parodi #1: Seminar Motivasi Gratis—Tanpa Makan Siang
Kami dijanjikan sukses,
asal kami “percaya pada diri sendiri”.
Tapi yang dipercaya malah biro penyedia bimbel.
Kami diajari mimpi besar,
lalu disuruh hafalkan definisi mimpi dari buku kurikulum edisi revisi ketiga.

Sementara itu,
anak pejabat ranking satu karena ikut les privat seharga motor.
Anak petani ranking satu juga,
di rumah… sebagai pengganti bajak sawah.

Ya Tuhan,
jika Engkau turunkan malaikat pendidikan,
tolong jangan beri dia power point 300 slide.
Cukup kasih dia telinga,
agar dia bisa dengar cerita kami:
tentang guru honorer yang jadi tukang ojek siang hari,
dan murid-murid yang jualan cilok sebelum upacara.

Sarkasme #1: Belajar Demokrasi dari Pilih Ketua Kelas
Kami diajari pemilu sejak dini.
Ketua kelas dipilih berdasarkan jumlah permen yang dibagikan.
Yang kalah? Diajari legowo,
tapi yang menang langsung dikawal guru BP.

“Ini latihan demokrasi,” kata Bu Guru,
sambil menunjuk daftar hadir berisi nama-nama yang tak pernah hadir…
tapi tetap dapat nilai kejujuran.

Paradox #1: Sekolah Anti-Bodoh, Tapi Tak Suka Bertanya
Kami disuruh berpikir kritis,
asal jangan pada jam pelajaran agama dan sejarah.
Kami disuruh aktif,
asal tetap diam waktu jam kosong karena gurunya rapat di luar kota.

Kami dituntut inovatif,
tapi tiap ide harus sesuai format—margin 4-4-3-3 dan font Times New Rigid.
Kami disuruh cari jati diri,
tapi tak boleh keluar barisan saat apel Senin pagi.

Ya Tuhan,
berikan kami kurikulum yang tak berubah lebih sering dari status mantan.
Ajarkan kami ilmu yang tak hanya bikin pintar menjawab soal,
tapi juga memahami hidup—termasuk bagaimana membayar UKT tanpa utang koperasi.

Ironi #2: Ujian Nasional, Tapi Hidup Tetap Lokal
Kami belajar keras untuk soal nasional,
tapi kerja nanti tetap urus sawah keluarga.
Kami ditanya fungsi sigmoid dan akar kuadrat,
tapi tak pernah diajari mengatur uang SPP agar cukup sampai akhir bulan.

“Sekolah bisa mengubah nasib!” kata iklan kementerian.
Tapi nasib kami tetap begitu-begitu saja,
karena formasi CPNS tak pernah buka jurusan kesenian dan cinta sejati.

Parodi #2: Upacara Penuh Semangat, Lalu Istirahat Panjang
Setiap Senin kami berdiri kaku,
di bawah matahari jam tujuh tiga lima.
Menyanyikan lagu wajib,
tentang Indonesia Raya yang katanya kaya raya…
tapi masih bingung cari dana operasional sekolah.

Setelah itu masuk kelas,
lalu guru berkata:
“Anak-anak, ibu ada pelatihan daring, belajar kelompok saja ya.”
Dan kami pun belajar mandiri—di warung depan sekolah.

Sarkasme #2: Pendidikan Karakter yang Menyiksa Karakter
Kami disuruh jujur,
tapi buku raport bisa diatur.
Kami disuruh hormat pada guru,
tapi guru pun takut pada atasan yang belum pernah mengajar.

Kami disuruh mencintai lingkungan,
tapi buang sampah sembarangan jadi rutinitas usai jam istirahat.
Kami disuruh cinta tanah air,
tapi tak ada yang tahu cara bayar pajak sekolah yang katanya gratis.

Paradox #2: Pendidikan Gratis, Tapi Masih Ada yang Putus Sekolah
Bilangnya: “Tak ada lagi anak negeri yang putus sekolah!”
Tapi tiap tahun masih ada anak jualan tisu di lampu merah.
Pendidikan gratis,
tapi anaknya disuruh ambil paket C karena tak kuat bayar sumbangan ‘suka rela’.

Ya Tuhan,
ajarkan kami beda antara sekolah dan belajar.
Antara ijazah dan pengetahuan.
Antara seragam dan cita-cita.
Karena kami nyaris lupa,
mana yang benar-benar penting…
dan mana yang hanya akreditasi berbingkai emas.


Penutup: Sepucuk Doa dan Pesan Positif
Kami bukan menertawakan sekolah,
kami hanya ingin sekolah yang tak melupakan kami.
Kami tak butuh bangku mewah,
asal ada guru yang sungguh mengajar, bukan hanya mengabsen.

Kami ingin pendidikan yang benar-benar membuka mata,
bukan sekadar mengejar nilai semu di lembar hasil akhir semester.

Puisi ini untuk siapa?
Untuk mereka yang membangun kurikulum dari balik meja kaca,
untuk para guru yang berjuang diam-diam,
untuk orang tua yang tak pernah menyerah pada seragam bekas,
dan untuk anak-anak kecil yang masih percaya sekolah bisa mengubah dunia.


Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):
Puisi ini kutulis bukan untuk menampar, tapi menyentil.
Bukan untuk menyalahkan, tapi menyadarkan:
bahwa pendidikan sejati bukan terletak pada label “gratis”,
melainkan pada keberanian semua pihak untuk jujur, adil, dan benar-benar peduli.

Post a Comment

0Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment (0)