Wednesday, May 21, 2025

Perempuan yang Tidak Pernah Lelah

 


Dedicated for My Wife : Rini Yuliastuti

“Perempuan yang Tidak Pernah Lelah”

Oleh: Seorang Suami yang Pernah Lumpuh Tapi Tidak Pernah Sendirian

Aku ingin bercerita, bukan tentang keajaiban langit,
bukan tentang sembuhnya tubuh dari kelumpuhan
tapi tentang satu jiwa yang tak pernah pulang
tanpa membawa cinta di kedua tangannya—
istri.
Iya, dia.
Perempuan yang membasuh air mataku
saat aku bahkan tak bisa menyeka air liur sendiri.

Pagi waktu itu dingin,
lebih dingin dari biasanya
tapi dia tetap bangun sebelum subuh
menuangkan air hangat ke baskom,
menyeka tubuhku yang tak lagi bisa diperintah
dengan tangan yang tak pernah mengeluh,
walau punggungnya sendiri sudah nyeri
karena seharian kemarin duduk di kantor,
dan malamnya menatap wajahku
yang sudah seperti topeng—
tak bergerak, tak bicara,
hanya menyiratkan pasrah.

Dia yang mengganti selimutku,
mengganti celanaku,
mengganti popok dewasa
dengan sabar yang tidak bisa diajarkan sekolah,
dan cinta yang tidak bisa dibeli di toko daring.

Dan kau tahu?
Dia masih sempat tersenyum.
Katanya, “Abang pasti sembuh.”
Padahal aku tahu,
mata itu menyimpan lelah yang tak bisa dibagi
kepada siapa pun kecuali Tuhan
dan kepalanya sendiri di atas bantal tipis itu.

Setiap pagi dia menyiapkan makananku,
meski perutnya sendiri belum diisi,
menyuapi aku dengan tangan kanan,
sementara tangan kirinya menyetrika baju kerja
yang sebentar lagi harus dia pakai.

Aku ingat,
pada hari ke-29 sejak aku lumpuh,
dia pernah menangis diam-diam di kamar mandi,
aku tahu karena aku mendengar isaknya tertahan
dan air kran yang mengalir lebih deras dari biasanya—
air itu bukan hanya untuk membilas sabun,
tapi juga untuk membilas lelah yang tak boleh terlihat
di hadapanku.

Ia keluar dengan mata sembap,
tapi bibirnya masih sama:
tersenyum, dan berkata,
"Abang hari ini lebih kuat ya?"

Siapa yang lebih kuat darinya?
Aku tidak bisa berjalan,
tapi dia masih bisa berlari
mengejar waktu, mengejar harapan
yang katanya tidak boleh pupus
karena aku harus sembuh,
harus berdiri lagi,
harus menjadi imam yang pantas untuknya.

Dia membawaku ke fisioterapi,
menggendongku,
ya, menggendong—
kalau itu bisa disebut gendong,
karena di antara kami berdua
hanya dia yang bisa berdiri tegak
sedang aku cuma boneka dengan nyawa,
menggantung pada pundaknya.

Setiap malam dia tak tidur penuh.
Karena jam tiga pagi aku harus ganti posisi tidur.
Dan dia bangun seperti dipanggil malaikat,
bukan dengan wajah marah,
tapi dengan lembut seperti bidadari yang tersesat
di dunia manusia dan tak pernah bisa pulang
karena masih ada satu tugas:
menjaga seorang lelaki
yang separuh tubuhnya sudah seperti batu.

Dan tak sekalipun dia berkata,
"Aku capek."

Tak sekalipun.
Padahal aku yakin,
kalau dia berkata begitu,
malaikat pun akan maklum,
Tuhan pun akan diam,
dan langit akan runtuh hormat.

Aku tidak bisa memberinya hadiah,
tak bisa menulis puisi waktu itu,
tak bisa menyuapinya seperti dia menyuapiku,
bahkan tak bisa mengucap terima kasih dengan utuh.
Lidahku berat,
mulutku menganga,
dan mataku berkaca-kaca
melihat dirinya yang begitu perkasa.

Suatu hari,
saat aku sudah bisa duduk sendiri,
aku menangis seperti anak kecil
karena untuk pertama kalinya
aku bisa menggenggam tangannya sendiri,
bukan digenggam.

Aku bilang:
“Maaf ya,
aku jadi beban.”

Dan dia jawab sambil mengecup dahiku:
“Abang bukan beban,
abang itu rumahku.
Kalau rumah retak,
masa aku pergi?”

Itulah cinta.
Bukan puisi.
Bukan drama Korea.
Bukan ciuman di bawah hujan.
Tapi perempuan yang pulang kerja,
dengan pundak yang pegal,
masih mau mencuci celana dalam suaminya
yang terkena ompol.

Itulah cinta.
Bukan janji di pelaminan.
Bukan gaun putih dan cincin emas,
tapi perempuan yang memandikan suaminya
yang lumpuh,
mendekapnya di kursi roda,
dan berkata:
“Besok kita coba jalan dua langkah ya,
aku pasti pegang abang,
abang jangan takut.”

Itulah cinta.
Bukan gombal,
bukan rayuan,
tapi tekad yang dibungkus ketulusan,
air mata yang disembunyikan di balik punggung,
dan doa yang ditiupkan ke ubun-ubun
setiap pagi sebelum berangkat kerja.

Dan akhirnya aku bisa berdiri.
Dengan tongkat.
Tapi di balik tongkat itu,
ada perempuan yang menopangku dari dalam.

Aku bisa berjalan.
Tapi setiap langkahku
ada bayangan dirinya
yang dulu menarik kakiku pelan-pelan
sambil berkata,
“Satu, dua, ayo bang. Kuatin napasnya.”

Aku bisa menulis puisi ini sekarang.
Tapi bait-baitnya,
adalah kumpulan tetes keringatnya
yang menetes di bantal, di lantai, di pipiku.
Adalah isakan yang tertahan,
adalah tawanya yang palsu agar aku kuat,
adalah sabarnya yang tidak punya tanggal kedaluwarsa.

Dan aku tahu,
kalau kelak aku sehat sepenuhnya,
tugasku hanya satu:

Menjaganya,
seperti ia menjagaku,
dengan cinta tanpa jeda.

Maka untukmu, istriku:
Aku bukan sekadar suami,
aku adalah saksi dari ketulusanmu
yang lebih kuat dari obat,
lebih mujarab dari terapi,
lebih nyata dari harapan.

Kau bukan perempuan biasa.
Kau adalah seluruh doa ibu dan surganya ayah,
kau adalah rumah yang tak pernah roboh
meski dindingnya penuh retakan lelah.

Dan di setiap langkahku kini,
ada namamu.



Related Posts

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."