[Doa untuk Demokrasi yang Kelelahan]
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Doa untuk Demokrasi yang Kelelahan
Ya Tuhan Pemilik Jagat dan Jajak Pendapat, Berikan kekuatan pada Demokrasi kami yang mulai megap-megap, Yang semangatnya dulunya dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, Kini lebih mirip: dari elit, oleh edit, untuk rating.
Beri dia napas dari janji yang tak lagi basi, Beri dia kursi tanpa perlu lem dan amplop, Karena kami letih—oh sungguh letih— Memilih wajah baru dengan isi yang lawas.
Tuhan yang maha mendengar debat kusir, Ampuni wakil-wakil kami yang lebih suka selfie ketimbang solusi, Yang lebih lancar berkata “aspirasi” daripada bekerja sepenuh hati, Dan yang bisa membahas UU dalam semalam tapi tidur saat rakyat demo siang.
Ini demokrasi atau sinetron? Yang plot-nya selalu soal cinta… pada kuasa. Yang tokohnya mudah diganti, tapi alurnya tetap: rebutan warisan jabatan.
Kami lelah, Tuhan, Dengan jargon-jargon yang laku dijual, Dengan baliho yang lebih besar dari niat baik, Dengan debat yang lebih ramai daripada substansi.
Di negeri kami, Satu suara dihargai saat kampanye, Lalu disenyapkan selama lima tahun, Ah, betapa indahnya kesetaraan semu.
Ya Tuhan yang melihat bilik suara dan ruang lobi politik, Kami tahu ini bukan sistem yang salah, Tapi seringkali orang yang memainkannya lebih pintar menyusun kebijakan untuk diri sendiri, Daripada menyusun solusi untuk rakyat kecil yang sungguh-sungguh kecil—dan makin mengecil.
Berilah demokrasi kami vitamin kejujuran, Dan multivitamin untuk transparansi, Karena terlalu banyak kosmetik dalam laporan pertanggungjawaban, Dan terlalu banyak parfum dalam janji kampanye.
Tuhan, Jangan biarkan kami jadi rakyat yang hanya pintar bersyukur, Tapi dilarang mengeluh, apalagi bertanya. Karena tanya dianggap makar, Kritik dianggap nyinyir, dan diskusi dianggap perlawanan.
Kami bukan ingin menghancurkan, Kami hanya ingin memperbaiki dengan tawa yang getir, Dengan satire yang manis pahit, Dengan parodi yang lebih jujur dari konferensi pers.
Beri kami keberanian, Untuk tak hanya memilih, tapi juga menagih, Tak hanya datang ke TPS, tapi juga menjaga waras setelahnya, Karena janji terlalu sering dimakamkan bersama kotak suara.
Kami ingin demokrasi yang hidup, Bukan boneka yang digerakkan remote sponsor. Kami ingin perwakilan yang paham makna kata 'wakil', Bukan 'wakil' yang hanya tahu selfie di gedung wakil.
Tuhan, Beri kami demokrasi yang tak kelelahan, Yang tak perlu istirahat panjang tiap habis pemilu, Yang tak hanya kuat saat kamera menyala, Tapi tetap bekerja saat lampu mati.
Kalau perlu, Kirim malaikat yang bisa jadi aktivis tanpa disusupi, Yang bisa menangis melihat rakyat lapar, Yang bisa tersenyum bukan hanya saat diliput media.
Tuhan, Kami tahu demokrasi adalah jalan panjang, Penuh belokan, jebakan, dan lubang penuh retorika, Tapi jangan biarkan kami menyerah dan pasrah, Karena menyerah adalah kemenangan bagi yang anti suara rakyat.
Kami butuh lelucon untuk bertahan, Dan satire untuk bertahan waras, Karena tanpa itu, kami akan terlalu serius dan bisa meledak, Padahal kami hanya ingin hidup damai dalam suara yang bebas.
Demokrasi kami kelelahan, Tapi jangan biarkan dia tertidur abadi. Beri dia secangkir kopi kejujuran, Dan sepotong roti kesadaran sosial.
Jangan izinkan demokrasi kami jadi influencer dadakan, Yang hanya aktif saat endorsement suara, Yang hanya peduli saat hashtag trending.
Kami menulis puisi bukan untuk benci, Tapi untuk mengingatkan dengan gaya yang lucu, Agar hati yang keras bisa mencair, Dan kepala yang penuh kuasa bisa sedikit tertunduk.
Tuhan, Berikan kami generasi yang melek bukan hanya di medsos, Tapi juga di musyawarah dan mufakat, Yang tak hanya bisa membaca tren, Tapi juga memahami nilai.
Demokrasi bukan sekadar pemilu, Ia adalah napas harian dalam hidup bernegara, Jangan biarkan ia sesak dalam aroma korupsi, Atau mati perlahan karena dibungkam birokrasi.
Kami ingin wakil rakyat yang tak hanya wakil, Tapi juga benar-benar rakyat, Yang tidak alergi terhadap suara sumbang, Karena suara itulah yang menyelamatkan dari kejatuhan.
Satire ini bukan senjata, Ia adalah cermin dan pelajaran, Bahwa dengan tertawa, kita bisa lebih bijak, Dengan puisi, kita bisa lebih peka.
Pepatah Positif dari Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra): "Satire adalah seni mencubit tanpa melukai, menyentil tanpa membenci, agar bangsa bisa tertawa sambil berpikir."
Ditulis pada: 18 Mei 2025
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."