Pengantar Pendek:
"Katanya cinta budaya lokal, tapi lebih suka makan rendang dalam cup plastik, dibungkus senyum palsu kasir berseragam global."
—Di negeri yang katanya kaya rasa, rupanya selera kita justru dimiskinkan.
Puisi Monolog Satir
"Kuliner Tradisional Versi Franchise"
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Aku ini tempe yang dibungkus daun,
Tapi sekarang harus masuk freezer,
Dijual di rak minimarket sebelah sabun,
Karena katanya, biar kekinian,
Biar viral.
Aku ini soto yang biasa pakai mangkuk retak,
Diseruput sambil duduk lesehan dekat got,
Sekarang harus disajikan dalam gelas plastik,
Diberi topping krupuk warna pelangi dan daun mint—
Karena katanya,
Orang kota tuh suka yang aesthetic.
Aku ini keripik pedas asli kampung,
Yang dibikin emak-emak sambil jagain anak,
Sekarang dijual dengan nama "Spice Crunchy Lava V3.0",
Dengan logo maskot alien berjilbab—
Katanya sih,
Biar bisa ekspor ke luar negeri.
Aku ini rendang, warisan nenek moyang,
Yang dulu dimasak tiga hari penuh peluh dan doa,
Sekarang cuma butuh 3 menit di microwave,
Karena waktu itu uang,
Dan rasa itu cuma bonus.
Aku ini cireng, yang biasa nempel di tangan,
Tapi sekarang dicetak bulat sempurna,
Dibekukan, diplastikkan,
Dan dikirim ke luar kota—
Dengan slogan:
“Rasakan otentik rasa rakyat, dari pabrik kami!”
Apa kabar kuliner tradisional?
Oh, ia kini punya manajer pemasaran.
Ia pakai dasi, pakai Excel,
Dan tak tahu perbedaan antara lengkuas dan jahe.
Tapi katanya,
“Kita harus skalakan rasa, demi pertumbuhan ekonomi.”
Aku tanya:
“Lalu ke mana aroma kayu bakar?”
Dia jawab:
“Sudah tidak relevan dengan tren pasar.”
Aku tanya:
“Kenapa tahu isi rasanya jadi seperti spons sabun?”
Dia jawab:
“Lebih efisien, lebih tahan lama.”
Aduhai…
Sekarang nasi uduk pun punya branding,
Dengan nama “Coconut Aromatic Rice in Leaf Pouch”
—padahal cuma bungkus daun pisang,
Yang dulu dianggap kampungan,
Kini jadi premium packaging.
Ironi, bukan?
Yang dulu dihina karena terlalu kampung,
Kini dijual mahal karena disebut heritage.
Yang dulu ditinggalkan demi makanan barat,
Kini dibungkus gaya barat agar dianggap lokal.
Aku ini cilok yang biasa dijual depan SD,
Dulu hanya ditusuk bambu,
Sekarang dimasukkan dalam cup kertas berlogo sapi lucu,
Dijual di mall seharga semangkuk ramen.
Dan anak-anak kota bilang:
“OMG! This is like… so authentic!”
Otensik apanya?
Gurihnya hilang,
Keringat penjualnya tak lagi tercetak,
Dan sambalnya dibuat oleh mesin.
Aku ini pecel lele,
Yang dulu dinikmati dengan bau knalpot dan suara azan,
Sekarang ada di restoran cepat saji,
Dengan nama "Lele Supreme Original Recipe",
Dan sajiannya pakai saus BBQ Korea.
Kata mereka:
“Adaptasi itu penting.”
Kata mereka:
“Globalisasi itu peluang.”
Tapi kenapa dalam adaptasi itu
Yang asli malah dikorbankan?
Kini tukang bakso keliling harus bersaing
Dengan gerobak stainless steel yang bisa self-service.
Sate Madura harus bersertifikat ISO,
Dan angkringan disulap jadi café vintage
Yang dijual pada anak Jakarta yang mau cari “vibe Jogja.”
Parodi ini begitu nyata:
Kita bangga pada budaya,
Asal bisa dibeli dalam bentuk franchise,
Asal ada influencer yang bilang “enak banget sumpah,”
Asal bisa jadi konten TikTok dengan lighting bagus.
Lucu ya?
Kuliner tradisional baru dianggap bernilai
Setelah masuk mall, punya QRIS, dan nama yang susah diucapkan.
Padahal dulunya cuma dianggap makanan rakyat,
Murah, dekil, dan bikin sakit perut kalau belum terbiasa.
Sekarang lontong sayur masuk menu brunch,
Diberi telur setengah matang dan microgreens.
Dan ibu-ibu penjual aslinya?
Masih jualan di sudut pasar,
Disalip oleh selebgram yang punya resep dari YouTube.
Katanya inovasi,
Tapi rasanya semua sama—seperti karton,
Karena yang dikejar bukan rasa,
Tapi visual yang instagramable.
Tapi aku tidak anti modernitas.
Tidak pula ingin selamanya pakai tungku dan kuali.
Aku hanya ingin kejujuran,
Bahwa tak semua harus dibungkus demi branding.
Bahwa nilai kuliner itu tak cuma pada nama keren,
Tapi pada tangan yang membuatnya dengan cinta.
Jangan sampai
Anak-anak kita mengenal gudeg
Bukan dari Yogyakarta,
Tapi dari brosur waralaba.
Jangan sampai
Mereka tahu sambal terasi
Bukan dari cobek,
Tapi dari botol berlabel "Spicy Fusion Paste".
Jangan sampai
Yang kita wariskan bukan resep,
Tapi franchise fee dan template iklan.
Karena kalau semua tradisi dikomersialkan,
Lalu apa yang tersisa dari keaslian?
Kalau semua rasa harus disesuaikan pasar,
Apa gunanya budaya?
Karena pada akhirnya,
Rasa itu bukan soal lidah,
Tapi soal ingatan.
Dan jika kuliner tradisional hilang bentuk dan jiwanya,
Kita bukan hanya kehilangan makanan,
Kita kehilangan siapa diri kita.
Pesan Positif:
Puisi ini bukan anti modernitas,
Ia hanya meminta keadilan untuk warisan rasa.
Agar dalam inovasi, kita tetap ingat akar.
Agar dalam membungkus, kita tak mengubur makna.
Karena sejatinya, tradisi bukan untuk dijual,
Tapi untuk dijaga, dirawat, dan dikenang dengan tulus.
Puisi ini diberikan kepada:
Seluruh pebisnis kuliner, pemerintah daerah,
Anak muda kreatif, food influencer, dan masyarakat luas—
Agar kita tak hanya bangga berkata “cintai lokal,”
Tapi juga belajar melindungi yang lokal dari hilang bentuknya
Karena obsesi akan globalisasi yang tak punya hati.
Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):
"Puisi ini bukan nostalgia murahan, tapi sinyal darurat. Jika setiap makanan tradisional harus dikemas seperti fast food untuk dihargai, kita sedang kehilangan rasa—bukan cuma di lidah, tapi di jiwa."
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."