Pengantar Pendek:
"Diberi nasi sebakul, disuruh masak untuk sekota. Tapi tetap dibilang pahlawan tanpa tanda jasa."
— Karena kadang, kemiskinan itu bukan kurang harta, tapi terlalu banyak harapan yang dititipkan pada pundak yang tak pernah dianggap penting.
Puisi Monolog Satir
"Guru Dibayar Murah, Diharap Mengajar Langit"
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Selamat pagi dunia,
Yang katanya bangun karena cahaya ilmu
Tapi lupa, siapa yang menyalakan lentera pertama itu.
Ya, aku...
Guru, tukang terang yang dibayar gelap.
Aku datang ke kelas,
Dengan semangat seharga dua bungkus nasi uduk dan teh manis—
Lalu disuruh menanam bintang di kepala murid,
Menumbuhkan moral dari tanah becek sinetron,
Membentuk masa depan dari gaji masa lalu.
Di buku pedoman kurikulum,
Namaku tertulis samar di halaman terakhir,
Sementara pejabat pendidikan berpidato
Dengan jas seharga sepuluh tahun gajiku,
Tentang pentingnya kualitas guru
Yang harus berjiwa nasionalis, globalis, dan... gratis.
Katanya aku pahlawan tanpa tanda jasa.
Lalu mana upah luka dari medan perang?
Mana asuransi untuk stres kronis
Dari mengajar anak-anak yang lebih kenal TikTok daripada Pancasila?
Tapi tenang,
Aku tidak minta istana,
Cukup tak dihina saat minta honor yang belum turun dua semester.
Lucu,
Anak bosku belajar online di luar negeri,
Anak muridku belajar daring pakai HP second,
Sambil jagain warung,
Sinyalnya lebih sering nyasar ke galaksi Andromeda daripada ke server zoom.
Katanya guru harus melek digital.
Sementara aku,
Masih harus pinjam modem tetangga,
Demi ngajarin rumus trigonometri ke anak yang bilang:
“Pak, saya nggak ngerti, tapi mau jadi Youtuber aja.”
Katanya guru harus jadi contoh,
Tapi tiap minggu ditanya,
“Masih ngajar aja, Bu? Gak cari kerja lain?”
Seolah mendidik manusia bukan kerja,
Tapi hobi yang dibayar pakai tepuk tangan.
Aku mengajar anak-anak orang kaya,
Yang disuruh hormat padaku
Tapi orang tuanya mencibir di balik layar:
“Ngapain sekolah mahal-mahal kalau gurunya pakai motor butut?”
Tiap bulan rapat evaluasi,
Diminta inovasi tiada henti.
Katanya sekolah harus go international!
Padahal bangunan sekolah roboh kena angin musim pancaroba.
Kepala sekolah menulis visi:
“Menghasilkan generasi emas.”
Tapi guru-gurunya dibayar dengan loyang.
Aku disuruh mencetak pemimpin masa depan,
Padahal aku sendiri dipaksa makan mie instan tiga kali seminggu.
Kata siapa gizi tak penting bagi penyampai ilmu?
Lucu ya?
Dunia ini begitu rajin menuntut hasil
Dari orang yang tak pernah diberi alat.
Diberi kapur setumpuk,
Disuruh menggambar masa depan pakai teknologi augmented reality.
Ah, kadang aku berpikir:
Jangan-jangan sistem ini memang didesain
Agar guru tetap miskin,
Biar tak sempat protes,
Karena sibuk cari tambahan jam ngajar demi sesuap hidup.
Tapi tetap,
Setiap pagi aku bangun.
Mengisi absen pakai senyum,
Membawa semangat dari dompet kosong,
Dan tetap mencoba menyalakan mata anak-anak
Dengan kisah Galileo, Kartini, dan Chairil Anwar.
Ironis ya?
Aku mengajar tentang revolusi industri 4.0
Tapi honor ku cairnya seperti era VOC.
Aku ajari anak-anak percaya diri,
Tapi dilarang marah saat dihina murid yang berkata:
“Pak, guru mah gak sekaya selebgram.”
Katanya,
“Guru harus sabar, bijaksana, dan penuh cinta.”
Tapi siapa yang mengajarkan kami untuk mencintai diri sendiri
Saat negara pun tak menganggap kami cukup layak diberi penghasilan manusiawi?
Aku dituduh terlalu sering mengeluh,
Tapi coba kau ajar 40 anak dalam satu kelas,
Dengan satu spidol,
Dan papan tulis yang nyaris pensiun dini.
Mereka berkata,
“Kalau gak kuat jadi guru, keluar aja!”
Oh, percayalah,
Bukan aku yang tak kuat,
Tapi sistem ini yang kelewat kejam,
Menabur janji, tapi menuai pengabaian.
Maka hari ini, aku bicara.
Bukan untuk mengemis belas kasihan,
Tapi untuk membuka mata,
Bahwa pendidikan bukan amal,
Dan guru bukan relawan abadi.
Aku bicara,
Agar muridku tahu,
Bahwa di balik senyum lelahku,
Ada ribuan pertanyaan tentang kenapa profesi ini
Harus tetap dibayar dengan tepukan bahu dan ucapan “terima kasih”.
Aku bicara,
Agar kelak saat mereka dewasa dan jadi pemimpin,
Mereka tak memperlakukan guru seperti tukang sulap
Yang harus mengubah batu jadi berlian tanpa diberi bahan.
Aku bicara,
Karena cinta itu juga harus diperjuangkan,
Dan guru yang benar-benar mencintai muridnya
Adalah yang berani menuntut keadilan untuk masa depan mereka.
Pesan Positif:
Puisi ini bukan sekadar keluhan,
Ia adalah suara yang ingin didengar,
Tentang betapa mulianya profesi guru—
Dan betapa mendesaknya untuk memperbaiki sistem yang selama ini
Membuat para pengajar nyaris menjadi pengemis di negeri sendiri.
Puisi ini diberikan kepada:
Para pemangku kebijakan, para orang tua,
Para murid, dan seluruh masyarakat
Yang masih percaya bahwa pendidikan adalah pilar peradaban,
Bukan sekadar angka di laporan tahunan kementerian.
Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):
"Kadang yang paling bijak bukan yang paling banyak tahu, tapi yang tetap mau mengajar meski terus diremehkan. Puisi ini bukan untuk menyalahkan, tapi untuk mengingatkan: jangan minta langit pada guru yang hanya dibayar cukup untuk menatap tanah."
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."