Pengen Kaya Jadi Babi Ngepet, Mati Masuk Neraka
Karya: Jeffrie Gerry, pujangga digital rasa cabai rawit setan
Di negeri yang katanya damai sentosa,
di mana masjid dan mall berjejer mesra,
di mana ceramah agama dan diskon besar saling bersahut-sahutan,
lahirlah mimpi: "Aku pengen kaya, cepet, instan, kalau bisa besok pagi sudah Sultan."
Tapi kerja? Ah, itu hina.
Kuliah? Ah, itu buang waktu dan kuota.
Bisnis? "Gue udah coba, tapi rugi terus, bro!"
Maka datanglah ide mulia:
“Gue jadi babi ngepet aja, deh.”
Katanya, babi ngepet itu hebat,
tak perlu ijazah, tak perlu mental kuat,
cukup minyak nyong-nyong, lilin merah, dan niat jahat.
Lalu wush!
tubuh manusia berubah jadi babi haram,
dan merayap ke rumah orang-orang yang taat,
mencuri recehan, gaji, bahkan celengan anak yatim yang baru belajar hemat.
Di kampung kami,
rumah-rumah mewah sering dicurigai:
“Itu pasti hasil ngepet, masa tukang fotokopi bisa punya Pajero dua biji?”
Padahal, yang nuduh juga beli mobil nyicil lima tahun dari pinjol ilegal,
tapi merasa lebih suci karena belum sempat berubah jadi babi digital.
Ya, zaman sudah maju,
babi ngepet kini tak lagi berkaki empat,
tapi punya akun medsos, endorse skincare, dan live sambil jualan dosa.
Followers jutaan, konten pura-pura dermawan,
padahal isi kolom komentar penuh sumpah serapah dan hutang pinjaman.
"Yang penting viral dulu, urusan moral belakangan,"
katanya sambil menyuap kamera dengan giveaway,
meski uangnya hasil nipu investor bodoh yang percaya janji langit.
Di pojok jalan, ustaz kampung geleng-geleng kepala:
“Zaman edan. Orang lebih rela nyembah tuyul daripada belajar jujur.”
Tapi suara sang ustaz tak sampai ke telinga yang terisi suara e-money,
karena neraka itu katanya bisa ditunda asalkan sekarang bisa staycation mewah tiap minggu.
Dulu orang takut jadi babi,
sekarang bangga,
asal bisa masuk podcast, dapat endorse, dan viral di TikTok.
Mereka bilang:
"Hidup itu pendek, bro, ngapain susah-susah jadi guru,
mending jadi babi setengah jam, besok bisa beli villa di Bali."
Ada juga yang lebih halus:
tak jadi babi beneran,
tapi korupsi di kantor kelurahan.
Main proyek fiktif, markup meja dan jendela,
lalu menyumbang ke panti asuhan agar dianggap “berhati dermawan”.
Sungguh babi yang berkaki dua dan mengenakan batik pada hari Senin.
Di grup WhatsApp keluarga,
masih saja ada yang kirim broadcast:
"Ini cara cepat kaya halal, cukup baca doa ini 77 kali sambil gosok perut."
Lalu nomor rekening muncul di bawahnya:
“Donasi sukarela untuk membuka aura kekayaan.”
Di negeri ini, keinginan kaya tak kenal logika.
Anak SMA ingin jadi sultan dengan jualan body scrub berisi air keran,
ibu rumah tangga ikut MLM yang menjual harapan kosong berbalut label sunnah.
Semuanya mengejar kaya seperti mengejar Layangan Putus:
penuh luka, tapi nagih.
Hingga malam tiba,
dan seseorang betul-betul menjelma babi ngepet di pojok masjid,
lalu ditangkap warga,
dipukul pakai sapu lidi,
dihina karena telanjang dan gemuk tak karuan.
Tapi sebelum mati, ia sempat berteriak:
"Kalian hina aku karena aku babi,
tapi siapa yang mengajari aku bahwa kaya itu segalanya?
Siapa yang menertawakan miskin dan memuja kemewahan?
Siapa yang bikin aku percaya bahwa neraka bisa dimaafkan asalkan sedekahmu viral?
Aku ini hasil dari mimpi kalian sendiri — mimpi kalian yang kotor tapi kalian tutupi dengan parfum agama dan kutipan motivasi!"
Lalu ia mati.
Tapi bukan karena diseret ke neraka,
melainkan karena viral dan dipolitisasi.
Besoknya,
pemerintah buat himbauan:
“Jangan jadi babi ngepet ilegal.
Kalau mau, daftar dulu di aplikasi resmi.”
Dan muncullah start-up baru:
“BabiNgepet.com — Kaya Tanpa Kerja, Neraka Bisa Nego”
Investor berdatangan,
influencer mereview:
"Layanan cepat, customer service ramah, babinya lucu."
Sementara itu,
anak-anak belajar dari YouTube:
cara bikin mantra ngepet, cara kabur dari warga,
cara menolak dosa dengan senyum dan alasan "demi keluarga".
Dan negeri ini terus melaju,
dengan warganya yang membenci kemiskinan seperti benci jerawat,
yang lebih takut jadi miskin daripada takut mati,
yang berdoa bukan untuk kedamaian,
tapi untuk jackpot dan promosi jabatan.
Mereka bangun tiap pagi,
bukan untuk belajar atau berjuang,
tapi untuk mencari cara baru agar bisa kaya tanpa keringat,
bahkan kalau perlu, dengan menjual nama orang tua yang sudah wafat.
Lalu datanglah hari penghakiman.
Dan malaikat pun bingung:
"Ini manusia atau babi semua?"
Tapi neraka penuh,
dan surga tertutup rapat bagi yang memperkaya diri dengan dusta dan tipu-tipu.
Namun mereka tetap tertawa,
karena mereka percaya:
"Kalau duitku cukup, aku bisa sogok setan."
Padahal di neraka, semua itu hangus,
dan hanya dosa yang terus menghantui seperti notifikasi tak terbaca.
Tamat? Belum.
Karena setiap hari, babi ngepet baru lahir:
di kantor pajak,
di meja rapat,
di kolom komentar,
dan di balik wajah polos yang bilang:
"Aku hanya ingin hidup layak."
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."