Pengantar Pendek
"Dulu suara hati yang menyanyi, kini suara mesin yang menari."
Lagu daerah yang lahir dari rahim budaya kini didandan secantik mungkin dengan make-up digital. Apakah kita sedang merayakan warisan, atau malah menguburnya di balik efek suara?
PUISI SATIRE MONOLOG
"Lagu Daerah dengan Auto-Tune"
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
(A monolog untuk bangsa yang terlalu cinta dengan gema, lupa pada makna.)
Wahai Tanah Airku, Apa kau dengar merdunya nyanyian itu? "Ampar-ampar pisang"—diselimuti efek vokal, berkilauan, seperti disetrika bintang.
"Anging Mammiri" kini bersayap robotik, Melayang di langit TikTok yang norak, melengking seperti GPS kehilangan sinyal, mengajak anak cucu menari dengan suara asing.
Inilah revolusi, katanya. Inovasi, katanya. Preservasi budaya lewat autotune dan bass berdentum. Tapi mengapa aku tak lagi mengenali nadanya?
Dulu, Ibu menyanyi "Apuse" sambil menumbuk padi, Sekarang, anaknya menyanyikannya sambil bikin konten review skincare, dengan wajah memerah filter dan telinga memerah noise cancellation.
"Yamko Rambe Yamko" disulap EDM, Disiarkan live di konser NFT, Tapi adakah yang tahu artinya?
Kita bangga lagu kita trending, bangga menjadi viral, bangga ditonton jutaan kali, Tapi siapa yang masih hafal syair aslinya?
Dulu lagu lahir dari tanah dan hati, Kini dari algoritma dan software bajakan. Suara biduan dibersihkan seperti laporan korupsi, Tanpa cela, tanpa rasa, tanpa jejak manusia.
Oh betapa lucu negeri ini, Menangis saat budaya hilang, tapi tertawa saat me-meme-kan nenek moyang. Katanya cinta tanah air, Tapi lebih cinta efek reverb.
Lirik disingkat, Bahasa dialek dihilangkan, Kata-kata diganti emoji, Seakan budaya bisa dikompresi ke dalam video 30 detik.
"Butuh estetika baru!" teriak influencer. Tapi estetika apa yang bisa tumbuh dari akar yang dicabut?
Oh Nusantara, Dengan seribu lagu dan seribu suku, Mengapa kini hanya terdengar satu suara: "Like, comment, and subscribe."
Auto-tune bukan dosa, Tapi apakah ia satu-satunya bahasa modern? Bolehkah aku menangis dalam nada minor? Atau tangisku juga harus di-autotune agar terdengar indah?
Kita tak lagi menyanyikan sejarah, kita sedang mengarang fanfik budaya. "Lir-ilir" dengan beat trap, "Gundul-gundul pacul" dengan koreografi ala Korea.
Apa salah jika lagu daerah kita menyesuaikan zaman? Tidak salah. Tapi apakah zaman harus menghapus nyawa lagu itu sendiri?
Lagu daerah bukan sekadar nada, Ia adalah nadi yang berdetak dari masa lalu ke masa depan. Bila nadinya dimutilasi, Maka tinggalah kerangka digital bernama konten.
Wahai penyanyi dengan pita suara plastik, Tahukah kau bahwa yang kau nyanyikan adalah doa? Doa yang lahir dari sawah, laut, dan lereng gunung?
Tapi kini, Lagu itu hanyalah latar musik prank. Atau backsound challenge pamer dompet.
Apakah ini bentuk cinta? Atau pengkhianatan yang dimodifikasi dengan glitter?
Dan ketika suatu hari cucu-cucumu bertanya: "Kakek, apa itu lagu daerah?" Kau mungkin membuka YouTube, dan berkata: "Tuh, yang ada beat-nya."
Sepatah Kata dari Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
"Puisi ini lahir dari keresahan. Bukan untuk melarang perkembangan, tapi untuk mengingatkan: jangan kehilangan makna di tengah gegap gempita teknologi. Lagu daerah adalah warisan roh kolektif bangsa—bukan sekadar suara yang bisa diubah semau jari. Semoga puisi ini menjadi cermin kecil, agar kita bisa bercermin sebelum semuanya terlambat."
Diberikan kepada: Generasi muda, kreator konten, guru seni, dan para pelestari budaya.
Pesan Positif: Inovasi itu indah, tapi jangan sampai melupakan akar budaya. Mari nyanyikan lagu daerah dengan semangat baru, tanpa menghilangkan jiwanya.
Pengantar Pendek
"Dulu suara hati yang menyanyi, kini suara mesin yang menari."
Lagu daerah yang lahir dari rahim budaya kini didandan secantik mungkin dengan make-up digital. Apakah kita sedang merayakan warisan, atau malah menguburnya di balik efek suara?
PUISI SATIRE MONOLOG
"Lagu Daerah dengan Auto-Tune"
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
(A monolog untuk bangsa yang terlalu cinta dengan gema, lupa pada makna.)
Wahai Tanah Airku, Apa kau dengar merdunya nyanyian itu? "Ampar-ampar pisang"—diselimuti efek vokal, berkilauan, seperti disetrika bintang.
"Anging Mammiri" kini bersayap robotik, Melayang di langit TikTok yang norak, melengking seperti GPS kehilangan sinyal, mengajak anak cucu menari dengan suara asing.
Inilah revolusi, katanya. Inovasi, katanya. Preservasi budaya lewat autotune dan bass berdentum. Tapi mengapa aku tak lagi mengenali nadanya?
Dulu, Ibu menyanyi "Apuse" sambil menumbuk padi, Sekarang, anaknya menyanyikannya sambil bikin konten review skincare, dengan wajah memerah filter dan telinga memerah noise cancellation.
"Yamko Rambe Yamko" disulap EDM, Disiarkan live di konser NFT, Tapi adakah yang tahu artinya?
Kita bangga lagu kita trending, bangga menjadi viral, bangga ditonton jutaan kali, Tapi siapa yang masih hafal syair aslinya?
Dulu lagu lahir dari tanah dan hati, Kini dari algoritma dan software bajakan. Suara biduan dibersihkan seperti laporan korupsi, Tanpa cela, tanpa rasa, tanpa jejak manusia.
Oh betapa lucu negeri ini, Menangis saat budaya hilang, tapi tertawa saat me-meme-kan nenek moyang. Katanya cinta tanah air, Tapi lebih cinta efek reverb.
Lirik disingkat, Bahasa dialek dihilangkan, Kata-kata diganti emoji, Seakan budaya bisa dikompresi ke dalam video 30 detik.
"Butuh estetika baru!" teriak influencer. Tapi estetika apa yang bisa tumbuh dari akar yang dicabut?
Oh Nusantara, Dengan seribu lagu dan seribu suku, Mengapa kini hanya terdengar satu suara: "Like, comment, and subscribe."
Auto-tune bukan dosa, Tapi apakah ia satu-satunya bahasa modern? Bolehkah aku menangis dalam nada minor? Atau tangisku juga harus di-autotune agar terdengar indah?
Kita tak lagi menyanyikan sejarah, kita sedang mengarang fanfik budaya. "Lir-ilir" dengan beat trap, "Gundul-gundul pacul" dengan koreografi ala Korea.
Apa salah jika lagu daerah kita menyesuaikan zaman? Tidak salah. Tapi apakah zaman harus menghapus nyawa lagu itu sendiri?
Lagu daerah bukan sekadar nada, Ia adalah nadi yang berdetak dari masa lalu ke masa depan. Bila nadinya dimutilasi, Maka tinggalah kerangka digital bernama konten.
Wahai penyanyi dengan pita suara plastik, Tahukah kau bahwa yang kau nyanyikan adalah doa? Doa yang lahir dari sawah, laut, dan lereng gunung?
Tapi kini, Lagu itu hanyalah latar musik prank. Atau backsound challenge pamer dompet.
Apakah ini bentuk cinta? Atau pengkhianatan yang dimodifikasi dengan glitter?
Dan ketika suatu hari cucu-cucumu bertanya: "Kakek, apa itu lagu daerah?" Kau mungkin membuka YouTube, dan berkata: "Tuh, yang ada beat-nya."
Sepatah Kata dari Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
"Puisi ini lahir dari keresahan. Bukan untuk melarang perkembangan, tapi untuk mengingatkan: jangan kehilangan makna di tengah gegap gempita teknologi. Lagu daerah adalah warisan roh kolektif bangsa—bukan sekadar suara yang bisa diubah semau jari. Semoga puisi ini menjadi cermin kecil, agar kita bisa bercermin sebelum semuanya terlambat."
Diberikan kepada: Generasi muda, kreator konten, guru seni, dan para pelestari budaya.
Pesan Positif: Inovasi itu indah, tapi jangan sampai melupakan akar budaya. Mari nyanyikan lagu daerah dengan semangat baru, tanpa menghilangkan jiwanya.
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."