Manusia Bisa Berubah Jadi Binatang, Binatang Tidak Bisa Jadi Manusia

Jeffrie Gerry
0

 


Pengantar Pendek:

"Lucunya hidup, manusia bangga pada akal, tapi sering tersungkur di naluri. Binatang tak bisa jadi manusia, tapi manusia bisa jadi binatang – bahkan tanpa perlu latihan."

Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Monolog Satir: "Manusia Bisa Berubah Jadi Binatang, Binatang Tidak Bisa Jadi Manusia"

(Puisi 1000 kata – Ironis, Parodi, Paradoks, dan Sarkastik)

Aku bersuara hari ini,
bukan untuk disanjung sebagai filsuf,
tapi sebagai saksi yang muak,
melihat manusia turun kasta
tanpa disuruh,
tanpa dipaksa,
tanpa sadar.

Aku melihat manusia
yang belajar dari YouTube tentang evolusi,
lalu dengan bangga berkata,
“Kita bukan monyet, kita lebih tinggi!”
lalu menonton prank makan sabun sambil tertawa,
hingga akal terkikis,
dan gigi tinggal nyeri.

Manusia,
mereka yang katanya makhluk paling mulia,
mengungguli binatang karena akal dan adab,
tapi kini—
berkelahi karena stiker WA,
menipu demi follower tambahan,
berteriak lantang soal moral,
dari akun anonim penuh cacian.

Binatang?
Oh mereka terlalu sibuk hidup.
Serigala tidak berpura-pura jadi domba,
domba tidak tiba-tiba buka seminar soal sukses,
tanpa pernah panen rumput.

Kucing tidak menyuap untuk jadi pejabat,
gajah tidak memanipulasi data populasi,
burung hantu tidak bikin podcast spiritual
sambil jualan sabun pencerahan batin.

Sungguh mulia, manusia!
Bisa berubah jadi buaya,
ketika cinta jadi bisnis,
dan mulut manis jadi perangkap.
Atau kadal,
ketika lidah bercabang
lebih banyak dari jalan tol arah utara.

Lihatlah mereka,
yang bangga duduk di parlemen,
berdebat soal rakyat—
rakyat siapa?
Mungkin rakyat dari negeri Minecraft.

Mereka membangun aturan
seperti semut membangun sarang,
dengan gotong royong,
tapi untuk sang ratu,
dan semut pekerja dibiarkan
berbaris dalam kelelahan.

Tapi ini ironi yang lucu:
binatang tidak bisa korupsi.
Tidak bisa manipulasi pajak,
tidak bisa pura-pura bersih
lalu selfie pakai #IntegrityDay.

Oh betapa hebatnya manusia!
Mereka bisa makan tanpa lapar,
belanja tanpa butuh,
benci tanpa alasan,
berdoa tanpa makna.

Binatang tidak bisa begitu.
Mereka makan karena butuh hidup,
tidur karena lelah,
lari karena dikejar,
tidak pernah karena konten.

Burung tidak live streaming saat migrasi,
anjing tidak main sindir di status Facebook,
sapi tidak pernah kirim broadcast
tentang diskon akhirat
jika ikut seminar langit
dengan biaya transfer ke rekening palsu.

Manusia menciptakan hukum,
lalu lolos darinya,
dengan negosiasi, koneksi,
atau sekadar baju agama.
Binatang?
Tak punya hukum,
tapi hidup lebih tertib.

Apa kabar manusia?
Yang menyebut dirinya makhluk beradab,
tapi masih jual anak untuk konten,
menendang ibu demi warisan,
mengubur empati di kolom komentar.

Oh jangan salah,
aku bukan membela binatang.
Mereka juga bisa ganas,
tapi tidak pernah munafik.

Buaya ya buaya.
Srigala ya srigala.
Tidak berdasi,
tidak pakai parfum moralitas,
lalu menjebak mangsa dengan quote motivasi.

Manusia?
Ah manusia bisa apapun:
Paus bisa nyanyi,
tapi manusia bisa nyanyi sambil tipu investasi.
Burung bisa terbang,
tapi manusia bisa naik jabatan
tanpa kerja, asal tahu jalur ‘udara’.

Lucunya,
manusia menciptakan sarkasme,
lalu marah saat dikritik.
Mereka bilang,
“Jangan samakan kita dengan binatang!”
Tapi aku jawab:
“Tenang, tak bisa. Binatang terlalu jujur untuk disamakan denganmu.”

Mereka membunuh demi minyak,
demi tanah, demi emas.
Lalu bilang itu "demi pembangunan."
Tapi ketika anjing menggonggong karena lapar,
mereka bilang,
“Binatang liar! Harus diberantas!”

Lalu apa kabar manusia yang menggigit
dengan lidahnya sendiri?
Menyebar virus hoax lebih cepat
dari kelelawar yang difitnah?

Sekali lagi,
binatang tidak bisa jadi manusia.
Mereka tak punya kapasitas berbohong demi konten,
tak bisa pura-pura tertawa
di depan kamera,
lalu menangis di ruang kosong hatinya.

Mereka tidak butuh validasi,
tidak kejar likes,
tidak menyisipkan fitnah dalam obrolan ringan,
lalu berkata,
“Gue cuma bercanda kok.”

Mereka tidak menjadikan cinta sebagai proyek,
tidak mengedit wajah
hingga cermin pun bingung,
tidak jualan ‘healing’ di TikTok
dengan diskon khusus
untuk yang sedang patah hati.

Dan lihatlah kita,
manusia modern:
menyebut diri "open-minded"
tapi tidak tahan beda pendapat.
Berteriak soal inklusif,
sambil membatalkan siapa saja
yang tidak seirama.

Binatang tidak peduli warnamu,
sukumu, pilihanmu.
Selama tidak mengganggu sarangnya,
ia membiarkanmu hidup.
Manusia?
Akan membunuh nama baikmu
karena cuitan 10 tahun lalu.

Ya, manusia memang hebat.
Bisa berubah jadi binatang
tanpa perlu reinkarnasi.
Kadang jadi rubah,
kadang serigala,
kadang parasit,
tergantung kepentingan hari itu.

Dan ironinya:
binatang tetap jadi binatang.
Stabil. Konsisten. Otentik.
Mereka tidak terancam jadi manusia.
Karena mereka tahu,
itu bukan peningkatan,
tapi seringkali,
penurunan martabat.


Pesan Positif dari Puisi Ini:
Hidup dalam kemanusiaan bukan soal spesies, tapi pilihan. Puisi ini mengajak kita untuk tidak kehilangan nurani, tidak terjebak dalam kepalsuan, dan menemukan kembali esensi manusia: jujur, sadar, peduli, dan otentik.

Ditujukan Kepada:
Seluruh manusia yang lupa bahwa menjadi manusia adalah tugas harian, bukan hadiah otomatis dari kelahiran. Juga untuk mereka yang sibuk menjatuhkan binatang, tanpa sadar sedang mencerminkan sisi terliar dalam dirinya sendiri.


Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):

“Aku menulis ini bukan untuk menghina manusia, tapi untuk mengingatkan: jika kau merasa tersindir, mungkin itu pertanda baik—kau masih punya sisi manusia.”




 Pengantar Pendek:

"Induk singa tak mungkin menerkam anaknya. Tapi manusia? Bisa menelantarkan, menganiaya, bahkan membunuh darah dagingnya sendiri, sambil tersenyum di depan kamera."

Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Monolog Satir: "Ketika Kejam Tak Lagi Milik Binatang"

(Puisi Satir, 1000 kata – Liar, Kejam, Ironis, Parodi, Paradoks, dan Sarkasme)

Mari kita akui saja,
binatang memang liar,
tapi manusia—
lebih liar, lebih halus,
lebih sopan dalam kekejaman.

Singa bisa mencabik mangsanya,
karena lapar.
Serigala bisa mengepung rusa,
karena naluri.
Tapi manusia bisa menyayat sesamanya,
karena iri.
Karena tamak.
Karena “like” di media sosial.

Induk serigala menjaga anaknya
dengan gigitan cinta.
Induk singa akan melawan maut
demi anak-anaknya.
Tapi manusia?
Ada yang menjual anak
demi sensasi di TikTok.
Ada yang menelantarkan darah dagingnya
karena tak sesuai rencana hidup.

Binatang tak punya sekolah,
tapi tahu bagaimana menjadi ibu.
Manusia punya seminar parenting,
buku motivasi, podcast pengasuhan,
tapi masih tega melempar bayi
di tong sampah—
dan menyalahkan ekonomi.

Aku tidak sedang menulis dongeng.
Ini bukan puisi untuk menyenangkan.
Ini pengakuan berdarah
tentang manusia,
makhluk yang katanya mulia,
tapi bisa lebih kejam dari predator hutan.

Lihat wajahmu di cermin.
Tanyakan:
“Berapa banyak senyum yang kuberikan sambil menyembunyikan belati?”
“Berapa banyak janji yang kutebar seperti umpan, lalu kutarik ketika mereka lengah?”

Binatang tidak bisa seperti itu.
Kalau mereka lapar, mereka menggigit.
Kalau mereka kenyang, mereka tidur.
Kalau mereka cinta, mereka jaga.

Manusia?
Bisa mencintai dan menghancurkan
di hari yang sama.
Bisa merangkul sambil menusuk.
Bisa bilang "kamu satu-satunya,"
sambil mengetik "hey, kamu lagi apa?"
ke yang lain,
di waktu yang sama.

Binatang buas tidak pura-pura jinak.
Tapi manusia bisa jadi malaikat
di siang hari,
dan iblis
di kolom komentar malam-malam.

Oh betapa hebatnya manusia!
Mengkritik kekerasan,
lalu menampar anaknya
karena nilai matematika.
Menangis di berita soal perang,
tapi memukul istrinya
karena nasi kurang asin.

Induk binatang tidak pernah berkata:
“Anakku bikin malu keluarga.”
Mereka tak peduli status sosial,
tak peduli pencapaian,
tak peduli ranking.
Mereka peduli satu:
Hidup anakku aman?
Kenyang?
Hangat?

Tapi manusia,
mampu menyusun strategi,
menyusun drama,
menjual air mata,
lalu bilang:
“Aku korban keadaan.”
Padahal, dia pelaku utama.

Ini bukan lagi soal manusia berubah jadi binatang,
tapi lebih tepat:
“Manusia menciptakan definisi baru tentang kejahatan.”
Satu yang bahkan binatang tak bisa tiru.

Binatang membunuh untuk bertahan.
Manusia membunuh demi status,
demi warisan,
demi jabatan,
bahkan demi konten viral.

Anak ayam hilang, induknya berkotek.
Anak manusia hilang,
orang tuanya trending.
Lalu sibuk diwawancara
sebagai "korban sistem."
Bukan karena kelalaian,
bukan karena keserakahan,
tapi sistem!
Sistem adalah kambing hitam paling sabar,
tak pernah protes,
meski terus dikorbankan.

Binatang tak pernah menyalahkan sistem.
Karena mereka tahu:
hutan lebih jujur dari kota.
Bunyi ranting patah lebih jujur dari pidato pejabat.

Oh lihat, lihatlah manusia modern:
menggunakan teknologi untuk memata-matai pasangan,
menyusun kebencian pakai AI,
menghancurkan reputasi orang lain
dengan screenshot editan.
Tapi bilang,
“Saya hanya ingin keadilan.”

Apa kabar keadilan?
Mungkin sudah lama pindah ke gua,
bersembunyi dari tagar,
muak jadi alat propaganda.

Binatang tak mengenal politik,
tapi mereka jujur dalam hirarki.
Yang kuat melindungi.
Yang lemah dilindungi.
Tidak seperti manusia—
yang lemah diinjak,
yang kuat memonopoli hukum.

Binatang tak punya agama,
tapi mereka hidup dalam harmoni.
Tidak menyerbu sarang lain
karena beda ritual.
Tidak memaksa rusa makan daging
demi “keseragaman ekosistem.”

Manusia?
Mengatasnamakan Tuhan
untuk menjarah, membakar,
membunuh,
lalu berkata:
“Ini jihad.”

Tolong,
jangan hina binatang
dengan menyamakan mereka
dengan kita.
Karena saat serigala berburu,
ia tak menghakimi rusa.
Ia hanya lapar.

Tapi manusia bisa membuat konferensi,
untuk mendiskusikan:
“Siapa yang layak hidup dan siapa tidak.”

Binatang tak pernah melakukan genosida.
Tidak pernah menciptakan gas beracun.
Tidak pernah menjual manusia.
Tidak pernah membuat iklan penuh janji palsu
lalu menagihnya dengan bunga kredit yang kejam.

Singa tak akan membunuh anaknya
karena tak bisa masuk sekolah favorit.
Serigala tak akan meninggalkan anaknya
karena pasangan barunya tidak suka.
Kucing tak akan mengunci makanan
dan berkata:
“Kalau kamu tidak nurut, ibu nggak kasih makan.”

Tapi manusia bisa.
Dan lebih dari itu:
mereka bisa tersenyum,
menyusun alibi,
menyewa pengacara,
dan memenangi hak asuh
meski anaknya trauma.

Inikah manusia yang katanya khalifah?
Yang katanya cerdas, beradab, spiritual?
Yang katanya punya hati nurani?
Jika ya—
maka semoga binatang tak pernah punya mimpi
jadi seperti kita.


Pesan Positif dari Puisi Ini:
Jangan bangga jadi manusia jika hanya meniru naluri binatang dan menambahkan kebencian dalam bungkusan moral. Jadilah manusia karena memilih untuk mencintai, merawat, melindungi—bukan karena dilahirkan sebagai spesies Homo sapiens.

Ditujukan Kepada:
Semua manusia yang pernah bangga menyebut diri “lebih tinggi dari binatang,” tapi lupa bahwa kejam itu bukan soal gigi dan cakar—tapi soal hati yang dingin dan akal yang culas.


Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):

"Jika manusia bisa lebih kejam dari binatang, maka tugas kita bukan membanggakan akal, tapi memeriksa hati. Puisi ini bukan untuk menghina—tapi untuk menyadarkan: kita sedang di ambang menjadi makhluk yang bahkan binatang pun malu menyapa."

Tags

Post a Comment

0Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment (0)