Manusia Adalah Makhluk Mamalia Paling Serakah

Jeffrie Gerry
0

 


Monolog Satir: "Manusia Adalah Makhluk Mamalia Paling Serakah"

(Puisi Satir, 1000 kata – Penuh Ironi, Parodi, Paradoks, dan Sarkasme)

Halo dunia,
aku manusia.
Spesies unggulan dari kelas mamalia.
Berdiri tegak dengan dada bangga,
otak besar,
dan hasrat yang jauh lebih besar lagi.

Aku tak berbulu,
tapi aku menutupi tubuhku
dengan kulit mamalia lain.
Aku tak hidup di hutan,
tapi aku tebang hutan,
agar bisa buat mall,
dan memberi nama tokonya:
"Nature Vibes."

Aku, manusia.
Bukan singa, bukan serigala, bukan paus.
Tapi aku membunuh lebih banyak dari mereka.
Bukan karena lapar,
bukan karena takut,
tapi karena ku bisa.
Karena ku ingin.
Karena katanya,
“Itu hak saya sebagai manusia.”

Sapi tidak pernah berpikir
untuk menguasai dunia.
Tapi aku?
Aku tak puas dengan daratan.
Ku kuasai lautan.
Tak puas dengan lautan,
ku jejali langit.
Tak puas juga,
ku bor sampai ke inti bumi,
lalu ku tulis dalam laporan:
"Ini adalah kemajuan."

Aku adalah mamalia
yang meminum susu dari spesies lain,
bahkan setelah dewasa.
Aku menyimpan makanan
di kulkas yang ku beli
dengan uang dari pekerjaan
yang kubenci,
agar bisa beli lebih banyak
yang tak ku butuhkan.

Anjing hanya makan
saat lapar.
Kucing tak pernah mencuri
satu kota.
Kuda tak pernah membuat sistem
yang menjebak jutaan
dalam utang berbunga.
Tapi aku?
Aku bisa semuanya.
Karena aku manusia.
Mamalia paling brilian,
kata brosur pengembangan diri.

Aku adalah spesies
yang menjual air,
menyewakan oksigen,
menambang kebahagiaan,
dan mengemas alam
dalam kemasan plastik.
Lalu kutulis di label:
"Produk alami, 100% eco-friendly."

Oh, betapa ironis.
Aku bangun rumah besar
lalu mengurung diriku sendiri
dalam tagihan dan cicilan.
Aku bekerja 8 jam
agar bisa beli kursi pijat
yang tak pernah sempat kupakai.

Paus menyanyi di samudra
untuk mencari pasangan.
Aku nyanyi di karaoke,
untuk lupa bahwa aku kesepian.
Burung merantau saat musim berganti.
Aku pindah ke kota besar
untuk merasa penting
di tengah keramaian yang asing.

Mamalia lain kawin karena cinta
atau naluri sederhana.
Aku kawin karena tekanan sosial,
standar keluarga,
cicilan gedung resepsi,
dan pertimbangan "kapan punya rumah."

Aku menyebut diriku makhluk sosial.
Tapi menghindari tatapan di lift,
sambil sibuk scroll layar,
menyapa dunia lewat emoji
dan meninggalkan anak
dengan babysitter yang juga manusia—
yang juga kesepian.

Serigala tak pernah bunuh serigala
demi posisi alfa.
Tapi aku?
Aku bisa menyingkirkan
teman satu kantor
dengan presentasi manis
dan laporan kecil-kecil yang menyengat.
Tapi tetap kuucapkan:
"Gue doain yang terbaik ya buat kamu."

Mamalia lain tak punya rekening bank,
tapi tetap tidur nyenyak.
Aku?
Punya tiga akun,
dan tetap insomnia
karena belum punya passive income.

Aku berbicara soal spiritualitas
sambil membuka tabungan deposito.
Membaca kitab suci
di sela waktu trading saham.
Menuliskan kata “syukur”
di caption liburan,
yang kuambil dari kredit perjalanan
dengan bunga 18% per tahun.

Aku, manusia.
Mamalia paling mulia,
katanya.
Tapi tak ada spesies lain
yang bisa menciptakan sistem
di mana satu bayi lahir
sudah menanggung utang negara.

Aku bangga dengan teknologi.
Mobil listrik,
rumah pintar,
jam tangan digital
yang bisa ukur stres.
Tapi tetap,
aku tak tahu cara menyapa tetanggaku
tanpa canggung.

Aku ingin menyelamatkan bumi,
tapi aku butuh lima cup kopi plastik sehari
agar semangat menyelamatkan bumi.
Aku ingin hidup sehat,
tapi pesan burger lewat aplikasi
karena terlalu malas masak sayur.

Aku buat seminar tentang mindfulness,
tapi cek ponsel
setiap dua menit.
Aku jual kursus "detoks digital,"
lalu pasang ads-nya
di Instagram 5 kali sehari.

Mamalia lain hidup dalam musim.
Aku hidup dalam target kuartal.
Mamalia lain saling berbagi
untuk bertahan.
Aku menghitung, mencatat,
dan memutuskan,
“Maaf, itu bukan urusan saya.”

Aku merusak lahan,
membuang limbah,
meracuni sungai,
menebang pohon,
mengusir penduduk asli,
lalu menamai perumahan mewah:
“The Forest Residence.”

Aku adalah mamalia
yang bisa mengadakan konferensi
untuk membahas perubahan iklim
sambil menyajikan makanan
dalam plastik sekali pakai
dan pulang naik jet pribadi.

Mamalia lain tak mengenal konsep “uang.”
Tapi aku bisa bunuh saudaraku sendiri
karena nominal di layar.
Aku bisa jual bayi,
jual tanah leluhur,
jual organ tubuh,
asal kursnya bagus.

Dan parahnya,
aku tahu ini salah.
Tapi aku terus melakukannya,
karena itu cara tercepat
untuk naik kasta sosial
yang ku buat sendiri.

Lalu aku berdiri,
di podium,
dan berkata:
“Kita harus menjadi manusia yang lebih baik.”
Lalu naik mobilku,
melewati pengemis,
dan menutup jendela
karena "bau."


Pesan Positif dari Puisi Ini:
Jadilah manusia karena sadar, bukan sekadar karena spesies. Keserakahan bukan bagian dari kodrat, tapi hasil pilihan. Puisi ini adalah cermin retak, agar kita bisa melihat diri sendiri dengan lebih jujur—dan bertanya, “Mau jadi mamalia serakah, atau manusia yang waras?”

Ditujukan Kepada:
Seluruh umat manusia yang merasa sedang “berkembang,” tapi lupa bahwa perkembangan tanpa empati hanyalah jalan menuju kehancuran kolektif.


Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra):

“Jika puisi ini membuatmu marah, tertawa sinis, atau merasa tertusuk—bagus. Itu berarti kamu masih manusia, belum sepenuhnya mamalia yang terhipnotis oleh nafsu serakah.”

Tags

Post a Comment

0Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment (0)