Paradoks Bansos dan Mobil Mewah

Jeffrie Gerry
0


 Paradoks Bansos dan Mobil Mewah

Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Pengantar
"Kadang doa yang kita panjatkan untuk yang miskin, justru dikabulkan pada yang kaya."
— dari catatan satir seorang warga yang rajin antre tapi tak pernah terdaftar.


Doa Sang Rakyat yang Didoakan untuk Tidak Jadi Rakyat

Ya Tuhan,
Yang Maha Pemurah bagi yang sudah makmur,
Yang Maha Penyayang bagi yang sudah kenyang,
Berilah hamba... eh, maaf, berilah mereka yang sudah punya segalanya,
bansos yang bertumpuk seperti kardus dalam gudang kecurigaan.

Berilah mereka, ya Tuhan,
yang antre bukan di warung sembako,
tapi di dealer mobil Eropa,
yang air matanya mengalir bukan karena lapar,
tapi karena diskon PPN belum turun dari langit birokrasi.


Ironi Pertama: Bansos Bertaji, untuk Dompet yang Sudah Gemuk

Ampuni kami yang berharap pada kupon minyak goreng,
sementara yang disumbangi justru nyetir Alphard ke kantor kelurahan.
Ampuni kami yang mencatat tanggal pembagian beras,
sementara yang mengangkutnya tertawa dalam Vellfire bernuansa elegan.

Kau lihat sendiri, ya Tuhan,
mereka begitu dermawan membagikan selfie,
dengan tagar #BerbagiItuIndah
di depan truk bantuan yang katanya "untuk rakyat",
tapi masuknya ke dapur artis TikTok yang hobi makan subsidi.


Parodi Kedua: Mobilku Deritamu

Jika mobil mewah bisa bicara, mungkin ia akan berdoa:
"Ya Tuhan, berilah saya bensin bersubsidi,
walau saya minum Pertamax Turbo setiap hari."
Dan kita yang naik motor tahun 2006,
hanya bisa mengaminkan dengan sarkasme yang sopan:
"Aamiin... semoga velgmu makin kinclong
dan suspensimu tak goyang meski menginjak hati rakyat."

Betapa indahnya negeri ini,
di mana yang kaya disubsidi agar makin nyaman,
dan yang miskin disurati agar lebih sabar.
Yang antre beras dikasih senyum,
yang punya vila dikasih SPBU privat.
Katanya merata, tapi nyatanya miring.
Katanya adil, tapi GPS-nya rusak.


Doa Tulus dari Yang Tak Pernah Dapat

Ya Tuhan,
Jika memang rezeki itu Engkau putuskan jatuh ke garasi mereka,
berilah hamba hati yang lapang... selebar lahan parkir mereka.
Dan jika tangan mereka terbuka menerima sembako,
sementara tangan kami tetap kosong,
maka izinkan kami menggenggam ironi
tanpa harus memukul siapa pun.

Biarlah kami tetap miskin,
asal tidak kehilangan logika.
Biarlah kami tetap lapar,
asal masih kenyang akan kesadaran.
Biarlah kami tak terdaftar dalam program bantuan,
asal tetap masuk daftar manusia yang waras dan tahu malu.


Parodi Ketiga: Antara Data dan Doa

Katanya sistem canggih,
pakai NIK, QR Code, dan sidik jari.
Tapi kenapa yang terdata justru cucu pengusaha,
sementara Mak Som yang hidup di kolong jembatan,
dikatakan “tidak layak menerima bantuan karena belum update status domisili”?

Katanya algoritma lebih adil dari manusia,
tapi kenapa yang disalurkan ke komplek elit,
sementara warga kampung dapat janji via baliho?

Mungkin memang sistemnya masih dalam tahap beta,
tapi kenapa sudah dipakai untuk nyebar sembako jelang pemilu?


Paradoks Keempat: Doa-Doa yang Dipotong Pajak

Kami hanya ingin berdoa, ya Tuhan,
tapi sekarang pun kami takut,
karena doa kami bisa dikira kritik.
Kami hanya ingin makan,
tapi nasi pun kini ada label program bantuan.
Kami hanya ingin jujur,
tapi kejujuran tak bisa dibelanjakan di minimarket milik elite.

Ampuni kami,
yang tak bisa membeli suara,
karena uang kami habis untuk bayar listrik dan cicilan panci.


Sarkasme Lembut untuk Semua yang Tersinggung

Bagi kalian yang tersinggung,
tenang... ini bukan untuk kalian.
Ini hanya satire kecil,
yang mungkin salah sasaran,
atau justru mengenai tepat di dada.

Karena kami bukan menyindir personal,
kami menyindir pola.
Bukan menyerang individu,
tapi membongkar ironi yang sistemik.


Refleksi Akhir: Bansos Sejati Adalah Kesadaran

Bansos terbaik bukanlah yang dibungkus plastik dan dikawal aparat.
Tapi yang dibungkus kesadaran dan dikawal keadilan.
Mobil mewah tak salah,
yang salah adalah logika distribusi yang mabuk kekuasaan.
Yang kaya tak harus bersalah,
tapi yang membiarkan kemiskinan dibungkus konten—itulah yang seharusnya malu.

Jadi, wahai Tuhan,
kalau boleh kami mohon lagi:
tolong limpahkan bansos…
bukan ke dompet mereka,
tapi ke nurani kami semua.
Agar tak lagi tertawa di atas ironi,
tak lagi diam di tengah absurditas,
dan tak lagi buta saat logika ditabrak dengan stiker program sosial.


Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra)

Puisi ini bukan untuk menyindir siapa pun secara personal.
Ini adalah cermin panjang untuk melihat betapa lucunya negeri yang terlalu serius membagikan bantuan,
hingga lupa siapa yang sebenarnya butuh dibantu.
Semoga puisi ini bisa jadi vitamin kesadaran—tanpa efek samping—dan bisa dikonsumsi semua golongan.

Dan jika satu-dua tersedak karena getirnya,
mungkin memang saatnya menelan kenyataan... sebelum kenyataan menelan kita.

Post a Comment

0Comments

💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.

📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.

📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.

🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."

Post a Comment (0)