Satire Pengangguran Berijazah
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Pengantar
"Ada yang lulus cumlaude, tapi tak lulus wawancara kerja. Ada yang rajin kuliah, tapi kalah cepat dengan yang rajin relasi."
—Catatan seorang sarjana yang kini bekerja sebagai pengingat alarm keluarga.
Monolog Seorang Sarjana yang Tak Diundang Dunia Kerja
Ya Tuhan,
berilah aku pekerjaan...
bukan yang sesuai passion—aku tak muluk-muluk—
asal bukan jadi admin yang disuruh senyum sambil digaji dengan exposure.
Aku kuliah empat tahun,
plus dua tahun revisi skripsi yang katanya "harus ilmiah",
tapi lowongan kerja minta:
usia maksimal 23,
pengalaman minimal 5 tahun,
dan siap lembur dengan senyum semu.
Ironi: Lulusan Terbaik, Tapi Tak Terpakai
Ijazahku penuh cap basah,
tapi dompetku tetap kering.
Transkrip nilainya A semua,
tapi nasibku tetap C—cukup-cukup sedih.
Aku pernah jadi lulusan terbaik,
diiringi lagu “We Are The Champions” saat wisuda,
tapi kini aku menjadi juara bertahan
dalam lomba “menganggur paling tabah”.
Doa: Dari Pekerjaan Impian ke Impian Mendapat Pekerjaan
Ya Tuhan,
dulu aku bermimpi jadi dosen, diplomat, atau direktur,
kini aku hanya ingin punya penghasilan,
meskipun sebagai penjaga parkir yang bisa membaca jurnal ilmiah.
Jika memang rezeki itu datangnya tak selalu dari ijazah,
setidaknya jangan sampai aku kalah
oleh influencer yang kerjanya cuma review odol
tapi bisa beli rumah sebelum umur 25.
Parodi: Pendidikan Tinggi, Nasib Merunduk
Katanya,
pendidikan adalah jalan menuju masa depan cerah.
Tapi mengapa yang tidak kuliah
malah jadi bos yang menggaji lulusan doktor?
Katanya,
belajar itu investasi.
Tapi mengapa ROI-nya lebih cepat
dari jualan skincare ketimbang skripsi tentang mikroekonomi?
Katanya,
“belajarlah setinggi langit!”
Tapi realitanya,
yang terbang itu bukan mimpi kami,
tapi drone yang merekam konten YouTube
dari anak konglomerat yang ngevlog tentang “struggle hidup”.
Sarkasme: Tips Jadi Pengangguran Profesional
-
Buat CV dengan desain elegan dan tiga bahasa.
(Karena HRD lebih suka yang bisa berkata “sorry to bother” sambil disuruh begadang.) -
Kirim lamaran ke 100 perusahaan.
(Bukan untuk dipanggil, tapi agar bisa bilang “saya berusaha.”) -
Latihan wawancara di depan cermin.
(Karena yang diterima nanti justru anak Pak Direktur.)
Paradoks: Negeri yang Bangga Pendidikan, Tapi Tak Butuh Sarjana
Kita bangga punya kampus negeri terakreditasi A,
tapi tidak menyediakan lapangan kerja yang layak.
Kita bangga pada wisudawan yang dikalungi bunga,
tapi esoknya dikalungi utang pinjaman kuliah.
Negeri ini mengajak anak muda sekolah tinggi,
lalu membiarkannya bingung cari kerja
karena semua posisi sudah penuh
oleh yang tak pernah kuliah,
tapi tak pernah kekurangan kenalan.
Doa Ulang: Minta Rezeki, Bukan Rezekian Nepotisme
Ya Tuhan,
aku tak iri pada mereka yang sukses karena koneksi,
aku hanya ingin tahu ke mana harus mengirim lamaran,
jika semua kantor sudah penuh
oleh adik, sepupu, dan keponakan pemiliknya.
Ya Tuhan,
izinkan aku tetap percaya
bahwa integritas dan kompetensi
masih punya tempat di dunia nyata,
bukan hanya di soal Ujian Nasional.
Refleksi: Apa Salahku, Apa Salah Ilmuku?
Apa salahku?
Belajar sungguh-sungguh?
Tak pernah menyontek?
Tak main proyek selama kuliah?
Tapi mengapa yang dulu tukang titip absen,
kini jadi pengusaha kontraktor jalan tol?
Apa salah ilmuku?
Meneliti dengan referensi jurnal luar negeri,
tapi ditolak karena katanya “kurang pengalaman lapangan”.
Padahal yang diterima adalah
yang tahu kapan waktu ideal menyelipkan “pak bos” dalam kalimat WhatsApp.
Parodi Akhir: Job Fair Rasa Pameran Mobil
Aku datang ke job fair,
dengan niat cari kerja,
tapi pulangnya cuma dapat goodie bag
dan undangan ikut seminar MLM.
Aku kirim lamaran ke perusahaan BUMN,
tapi situsnya crash terus tiap kali dibuka.
Mungkin memang Tuhan lebih dulu memfilter
siapa yang cukup sabar untuk bersaing dengan bot dan birokrasi.
Penutup: Sarjana Bukan Akhir, Tapi Awal dari Pertanyaan Baru
Ya Tuhan,
jika Engkau tak memberi aku kerja hari ini,
berilah aku kekuatan untuk tetap waras
di tengah gempuran lowongan palsu,
job desc absurd,
dan HRD yang hilang setelah bilang “kami kabari ya”.
Jika memang rezeki datang dari arah yang tak disangka,
maka biarlah aku tetap berjalan…
meski kini harus berjualan
bukan ijazah, tapi ketabahan.
Pesan Positif: Untuk Sarjana yang Masih Bertahan
Untukmu yang masih percaya bahwa ilmu tidak sia-sia,
puisi ini untukmu.
Untukmu yang masih bangun pagi untuk cari lowongan,
meski besok belum tentu dapat panggilan,
puisi ini untukmu.
Untukmu yang masih punya mimpi walau dicemooh tetangga,
teruslah berjuang.
Karena dunia kerja bisa menutup pintu,
tapi dunia usaha bisa kau ciptakan sendiri.
Karena rezeki bukan hanya soal gaji,
tapi juga harga diri dan tekad tak berhenti.
Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry (Japra)
Puisi ini lahir dari kenyataan pahit yang terlalu sering dirasakan tapi jarang diakui:
bahwa ijazah tidak menjamin pekerjaan, dan kecerdasan bukan jaminan dihargai.
Namun, puisi ini bukan untuk mengutuk dunia,
melainkan menyalakan lilin kesadaran,
bahwa kita bisa tertawa dalam getir,
dan bangkit dalam ironi.
Untuk semua sarjana yang tetap kuat berdiri:
puisi ini bukan pelipur lara,
tapi cambuk halus agar terus melangkah—meski pelan, asal pasti.
💬 Berpikirlah Sebelum Mengetik
Komentar bukan sekadar suara—ia adalah pantulan isi kepala.
Kami menyambut diskusi tajam dan santun, bukan umpatan atau basa-basi.
Tulis komentar Anda dengan nalar, bukan hanya emosi.
📝 Komentar yang relevan akan ditampilkan.
🚫 Spam, iklan terselubung, dan komentar copy-paste akan dibuang tanpa ampun.
📣 Sukai? Bagikan!
Jika artikel ini membuat Anda berpikir ulang, tertawa getir, atau merasa terusik dengan elegan,
sebarkanlah—biarkan lebih banyak orang mencerna sesuatu yang lebih dari sekadar berita pagi.
🌐 "Karena kebenaran kadang perlu dibagikan... bahkan lewat tautan."